Minggu, 06 Juli 2014

Sama Saja

Debu di Samata ternyata masih banyak. Juga manusianya semakin bertumpuk-tumpuk di jalan raya. Aku pikir, semua ini telah usai, sejalan dengan aspal beton yang telah rapi tertidur. Juga manusia-manusia yang pulang ke kampung halaman karena Ramadhan sisa melangkah sehari lagi.

Tapi aku salah. Sama seperti salah mengartikanmu. Bahwa sebenarnya kau telah pergi. Tapi ternyata kau masih saja berkeliaran di mana-mana.

Selasa, 24 Juni 2014

Pembiasaan Itu Perlu

Tadi pagi dosenku, Ibu Ummu, bilang kalau metode pembiasaan itu, bagi sebagian pakar pendidikan, menganggap penting dan sebagian juga ada yang menganggap tidak penting.

Lalu kami diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat. Siapa yang menerima adanya metode pembiasaan dan siapa yang tidak menerima. Ada sekitar 4 orang yang mengatakan tidak setuju dengan metode tersebut. Salah satunya Rival. Katanya, pembiasaan itu tidak baik dilakukan dan sebatas hanya mengacu kepada kognitif saja. Sehingga menekan peserta didik hingga terjadi unsur pemaksaan di sana. Sedangkan yang menyatakan setuju dengan metode pembiasaan sekitar 6 orang. Salah satunya saya.

Saya menganggap bahwa metode pembiasaan atau yabg biasa juga disebut metode pengulangan, sangat penting dilakukan. Karena melalui pembiasaan akan suatu kegiatan, maka lama kelamaan akan menjadi sebuah sikap yang tertanam dalam alam bawah sadar. Sehingga mampu berpengaruh kepada kognitif, afektif, dan psikomotorik secara langsung maupun tidak langsung.

Jawaban saya semakin dilengkapi oleh Ahmad. Katanya, "Ala bisa karena biasa". Seseorang yang terbiasa melakukan sesuatu secara berulang-ulang, maka nantinya akan semakin terbiasa akan hal itu. Misalnya, saat membaca surah Al-Fatihah dalam shalat. Bagi peserta didik yang baru menghafalnya, dan sering dibaca dan diulang-ulang saat shalat, maka lama kelamaan akan dihafal mati. Bahkan telah tetanam juga di alam bawa sadar. Dan semakin dilengkapi lagi dengan argumen dari Andi. "Dalam buku Zero to Hero, dikatakan "Bentuklah kebiasaan, maka kebiasaan itulah yang akan membentukmu."

Dosenku yang cantik itu ternyata sepaham dengan kami yang memilih bagusnya diterapkan metode pembiasaan. Karena berasal dari pakar pendidikan yang setuju dengan adanya metode pembiasaan, mengatakan bahwa peserta didik akan terus mengalami perkembangan. Baik secara biologis, mental maupun secara pemikirannya. Maka akan ada saatnya peserta didik mampu mengontrol apa saja yang bisa ia peroleh. Karena telah mampu mengolah informasi dengan baik.

Hmm..
Semakin banyak saya belajar. Semakin banyak pula yang tidak kuketahui.


4 Juni 2014

Puisi Kematian :o

"PUISI KEMATIAN".
Sebenarnya dua kalimat itu saya peroleh dari om tercinta kita. Yang siap memberikan solusi terbaik saat kita membutuhkan banyak informasi. Om Google (hkhkhkhkhk..!)

Tak sengaja saja. Awalnya saya mencari info tentang salah seorang sastrawan yang meninggal dunia. Mencarinya karena sebuah status teman FB saya.

Puisi kematian? Ini mistis! Horror!

Tapi baik. Saya akan mencoba membuat puisi tentang kematian. Ini pertama kalinya membuat tulisan puisi jenis ini. Entahlah jenis apa! *Haha, saya merinding sendiri menulis ini. Tengah malam, Bo'!

Ehm..
_____
Aku tak pernah menatap sebuah cahaya
Tidak pernah
Yang kutemukan hanyalah kegelapan
Sama seperti malam ini

Mataku terbuka
Lebar tak berkedip
Meraba gelap
Tetap gelap

Tubuhku berjalan?
Aku bertanya pada diri sendiri
Serumit inikah?
Sekacau inikah?
Dimana akan kutemukan cahaya?

Ah! Iya, aku terbaring
Bayangan di pikiranku sempurna menggangguku
Menenggelamkan tubuhku yang sudah layu
Bahkan tak bergerak

Tetapi kenapa mataku melotot lebar?
Kemanakah cahaya?
Kenapa sempit sekali?
Aku tak bisa bergerak!
_____

Ada yang bisa menangkap makna dari puisiku?
Saya jelaskan saja, ya.
Saya berusaha menjadi seorang yang mati. Sesuai dua kata di atas, saya mencoba merangkai status ini menjadi sebuah tulisan yang mengandung puisi dan menarik benang baru setelah membacanya.

Ya, saya hanya ingin memberitahu kalau melalui puisi yang seketika ini kubuat adalah gambaran alam kubur ketika kita banyak melakukan dosa saat di dunia. Gelap, sempit, mata melotot mencari cahaya yang tak akan pernah ditemukan. Tak akan pernah. Sebab dosa menutup semua tittik cahaya.

SELESAI.

Intinya, Inspirasi menulis bisa datang dari mana saja. Kuulangi; Ini hal baru buat saya. Mencoba hal baru tidak salah, kan?

*Eh, puisi saya jelek, ya?  

KITA

Kawan, semua ini bukan tentang masing-masing kita ini adalah siapa. Tapi siapakah kita seutuhnya. Maksud saya, kita ini telah menetapkan banyak cerita yang telah menjadi cerita-cerita. Cerita yang sama2 kita punyai. Tak pandang apa, siapa, apalagi kedudukanmu apa.

Satu, dua, tiga tahun belakangan, saya rasa itu semua lebih dari cukup kita memahami kalau kita itu ya kita. Bukan kamu, bukan aku lagi.

Hei, kita masing-masing ini dulunya apa? Seperti kerikil-kerikil kecil saja, kan? Nah, tiga tahun itu bukannya cukup bahkan sangat cukup untuk menyatukan semuanya? Menjadikannya batu besar yang kokoh, kuat, hebat, dan tahan banting?

Hei, semua ini cobaan. Kita semua amat tahu kalau cobaan itu sebenarnya amat manis kalau kita mau memahaminya baik2. Tuhan tidak pernah menciptakan yang bahkan bencana sekalipun itu ada manfaatnya. Semua berbuah kebaikan.

Kawan, masih banyak hari-hari yang sedang duduk manis menunggu bahagia kita nantinya. Mau membiarkan dan memberikan kesempatan sedih itu tertinggal terus? Tidak, kan?

Baik. Kita semua salah. Tidak ada yang benar. Karena semua membenarkan diri. Pun termasuk saya juga. Tapi, kawan. Pahamilah, pahamilah ini adalah cobaan yang indahnya bukan main kalau kita mau memahaminya. Mengambil hikmah saat diam2 masalah datang tanpa permisi.

Seperti sekarang ini yang menjadikan kita kembali ke masing2 lagi. Bukan "kita" lagi. Apa mau seperti ini terus?

Bukannya kita lebih baik kalau menjadi "kita" daripada masing-masing diri sendiri?

jujur, mata saya berkaca-kaca menulis ini. Sambil mengingat keutuhan kita di tahun-tahun yang terlewat. Yang dengan rela meninggalkan banyak cerita-cerita. Hey! Bukan hanya satu cerita, kan?

Kawan, masing-masing kita adalah yang terbaik. Dan akan lebih baik lagi jika kita benar-benar menjadi "KITA"

Seharusnya Begini.. :D

Saya masih ingat kejadian beberapa tahun silam saat duduk di bangku SD kelas 5. Saya termasuk salah seorang siswa yang selalu masuk 5 besar di kelas sejak kelas 1. Jadi, sejak kelas 1 sampai kelas 6, guru-guruku tidak pernah memberi hukuman. Sama sekali tidak pernah. Sekalipun itu.

Tetapi yang masih membekas di pikiran saya, saat kelas 5 SD saya mendapatkan cubitan yang saya sendiri tak tahu asal muasalnya seperti apa. Saya salah? Salah apa? Guruku mencubit dalam-dalam perutku. Aduh! Sakitnya minta ampun.

"Salah saya apa, Bu?" Saya bertanya, membela diri. Bagaimana tidak kalau dipanggil tiba-tiba , disuruh mendekat dan cubitanpun melayang. Parahnya, pertanyaanku tak dijawab. Miris, bukan?

Saya, menangis. Tapi tidak dihadapannya. Kembali duduk di bangkuku, menangis sambil berpikir salah saya apa tiba-tiba dicubit sebegitu ganasnya. Oh, Tuhan.. Saya tidak terima.

Hei, sampai sekarang saya masih berpikir; alasannya apa, Bu???!!! Hahahaha

Perasaan sedih ini kembali muncul saat tadi, di kelas. Dosen saya, Ibu Ummu mengajarkan MK Metodologi Pembelajaran PAI. Dan kebetulan sekali tadi membahas tentang "metode pemberian hukuman", atau biasa disebut metode Targib.

"Pemberian hukuman harus berdasarkan kesalahan apa yang dilakukannya bukan siapa yang melakukannya." Penjelasan Ibu Ummu jelas sekali.

Nah, ini yang bikin saya sampai sekarang berpikir sama guru SD saya, kok tiba-tiba menyubit, ya? Saya tidak pernah mencubit siapapun, kok.

Ini sesungguhnya pelajaran untuk saya pribadi. (Atau kalian juga yang mungkin bisa mengambil pelajaran dari cerita ini). Bahwa, peserta didik itu --apalagi SD-- mentalnya belum kuat- kuat amat. Jadi sekali dikasari, apalagi tanpa sebab yang jelas, bahaya akan terbawa sampai dewasa.

Jadi, kalau memberikan hukuman, berilah sewajarnya saja sesuai dengan kesalahan apa yang ia lakukan. (INGAT: Pemberian hukuman, bukan berdasar siapa yang salah, tapi kesalahannya apa)

Satu lagi; Berilah penjelasan dan alasan kenapa peserta didik kita, kita hukum.

Yayaya

Untuk Anta...

Ketika mendengar keluhan orang tua santri tentang penyakit anaknya, Anta Quryautama Syah. Lama kami tahu, Anta menderita kelainan syaraf di kepalanya. Penyakit ini akan semakin parah jika Anta semakin banyak pikiran. Selain itu, ada tumor di hidungnya.

Pantas saja. Selama ini Anta kurang bisa menyerap pelajaran yang diberikan. Sangattt sulit diperintah untuk menulis. Sangattt sulit mencerna huruf-huruf hijaiyyah. Sangattt sulit menghafal hafalannya.

Saya pernah mencoba menerapkan beberapa metode pembelajaran yang saya peroleh di bangku kuliah. Yaitu metode pendekatan individual dan metode menyenangkan yaitu metode dengan menghubungkan huruf hijaiyyah dengan benda-benda yang mudah diingat. Ya, memadukan metode pembelajaran agama dengan pembelajaran umum.

Anta sangat butuh tambahan motivasi. Dan Alhamdulillah, Anta sudah bisa sedikit demi sedikit mencerna huruf dan mulai bisa meyebutkannya dengan penyebutan yang baik. Tetapi masih sangat sulit menulis dan menghafal hafalannya.

Sekarang, Anta sudah Iqra' 4. Dan ibunya baru beberapa hari yang lalu memberi tahu penyakit Anta. Kami syok, separah itu ternyata. Mata saya berkaca-kaca. Malu menangis di hadapan puluhan santriku. Apalagi ketika ibunya berkata, "Dokter memprediksikan umurnya hanya belasan tahun." Saya hanya bisa mengelus dada dalam-dalam sembari mengusap air mata yang tergenang.

Kemarin, Anta sudah mulai menghafal bacaan-bacaan shalat. Hafalan doa-doa hariannya masih beberapa. Dia yang meminta melangkahi hafalannya langsung ke bacaan sholat. "Saya menghafal itu, Kak!" Dia berseru. Dan kami mengiyakan. Daripada tidak mau menghafal, kan? Meski terbata-bata dan lebih banyak dibimbing saat menghafal bacaan doa i'tidal, setidaknya sekarang semangatnya tumbuh beberapa derajat dari sebelumnya.

Dan ini menjadi PR untuk kami, guru-gurunya. Insyaallh berberkah.

Untuk Anta, semoga Allah memberikan pemahaman yang baik dan kesembuhan untukmu, Dek. Aamiin.

Sabtu, 24 Mei 2014

Saya, Dua Puluh Dua, dan Kesederhanaan

Selalu ada yang istimewa di setiap langkah kita. Tentang sebuah jejak. Tentang sebuah goresan. Tentang sebuah ukiran. Dan tentu meninggalkan kenangan yang berbekas. Melekat di ngatan. Memeluki pikiran hingga bertumpuk-tumpuk. Entah sampai kapan. 

Hari ini rupa-rupanya sangat istimewa. Setiap detik adalah anugerah Tuhan. Dan nampaknya, ada yang berkurang. Dan sungguh saya bisa dikata kurang merasakannya. Why? Mau tahu kenapa? Ya, jelasnya saya juga tidak terlalu tahu, sih. Hehe

Tuhan begitu baik kepada makhluknya. Ketika ada yang sedang berdiri, ada yang duduk. Ketika ada yang terbaring lemah, ada yang berlari kencang. Ketika ada yang merasa sedih bukan kepalang, ada yang merasakan bahagia bukan main. Dan saya, berada di posisi bahagia tapi bukan main, apalagi bukan kepalang. Bahagiaku sederhana. Amat sederhana.

Saya adalah perempuan yang mencintai kesederhanaan. Perempuan yang mencintai kebiasaan yang kampungan. Perempuan yang menjadikan miskin sebagai sahabat. Jelas tidak ada yang istimewa, bukan?
Ya, sangat sederhana.

Dua puluh dua. Ada yang tersirat di sana. Sebuah keserhanaan yang seimbang. Saya tak berkata filosofi dua itu baik. Menurut peramal? Ah, saya tidak pernah percaya dengan mereka.

Dua puluh dua. Ada apa di sana?

Kemarilah..

Di sini hanya ada saya yang biasa. Sama sekali tak ada yang istimewa dariku. Apalagi jika di kata special. Dua puluh dua yang sederhana sejak ibu mengandungku. Hingga detik nanti. Detik aklian yang membaca ini, tak mampu lagi mendengar candaku.

Ketika mencari sebuah keistimewaan, saya sama sekali belum menemukannya di diriku. Entahlah. Tapi, sederhana, bukan? Tapi -lagi- hari seperti inilah yang mungkin dikata istimewa. Sebab Tuhan masih memberiku kesempatan untuk menjadi menyandang usia dua puluh dua tahun. Merangkak lagi ke usia dua puluh tiga.

Di usia yang semakin matang ini, harapan saya hanya beberapa. Semoga Tuhan mengabulkna, Aamiin.
Pertama, saya berharap setiap jejakku meninggalkan cerita yang indah dan abadi di hati semua orang yang menyayangiku dan yang pernah menyayangiku.

Kedua, kiranya saya pernah berbuat salah, maafkanlah. Manusia memang makhluk yang tergesa-gesa akan dosa.

Ketiga, biarkanlah saya seperti ini. Menjadi wanita sederhana. Sebab, sederhana bagiku itulah yang sederhana. Tak ada yang bisa dilebih-lebihhkan.

Tapi, kiranya izinkan juga saya mengaminkan doa-doa kalian. Entah yang telah terucap, atau yang masih tersembunyi. Saya menyayangi kalian. :*

WELL, HAPPY BIRTHDAY TO ME. !!!!!



Kamis, 22 Mei 2014

Pelajaran dari Si Pesulap "Kampung"

Ada yang menarik perhatianku hari ini. Tadi, tepat pukul 15.00, saya bersama ibu dan seorang kakakku, duduk di depan rumah. Sekedar menikmati angin sore. Saya melihat ke arah kanan sebelah rumahku. Di sana, sekitar 20 orang anak dan beberapa orang dewasa sedang berkumpul berebut tempat. Berdesakan untuk melihat lebih dalam ke seseorang yang sepertinya sedang melakukan sesuatu yang menarik bagi mereka.

Usut punya usut, ternyata ada seorang pesulap jalanan. Perawakannya kakek-kakek berumur sekitar 50 tahun lebih. Ternyata dia juga bisa membaca kepribadian seseorang (katanya). Dan yang menarik perhatianku adalah ketika dia tidak meminta uang yang banyak atau menentukan "harga" karena aksinya yang telah menghibur.

Di sela-sela beraksi dengan sulap "kampung" nya, dia hanya meminta uang seribu bagi yang mau memberi. Dan seorang anak lelakipun memberikannya seribu rupiah. Kemudian dilanjutkannyalah pentas yang jarang anak-anak temui itu.

Mereka tampak riang. Beberapa kali terdengar berseru semangat. Beberapa kali bertepuk tangan.

Usai berpentas, kakek itu melanjutkan perjalanan menghiburnya ke tempat lain. Semua gerombolan anak-anak-kecuali orang dewasa- mengikuti langkah kakek itu berhenti -lagi- di sebuah lorong yang tak jauh dari lokasi sebelumnya.

Tampak kakek itu menenteng dua buah tas di sisi lengan kanan dan kirinya. Mengenakan sandal jepit. Dengan pakaian -yang mungkin dulu- berwarna putih. Tampak kumal dan kucel. Gurat wajahnya menggambarkan raut yang periang. Suka sekali dengan anak-anak. Orang tua yang baik, pikirku.

Hmm..
Saya cukup kagum dengan dia. Seorang kakek yang punya semangat tinggi. Bekerja keras hanya untuk mendapatkan beberapa lembar uang seribuan. Untuk keluarga kecil yang sejak pagi menunggu kedatangan kepala keluarga yang hebat itu. Hebat? Ya, bapak itu hebat bagi saya. Karena dengan gigihnya menghibur demi beberapa lembar recehan. Mencari penghidupan yang halal.

Biasanya, orang tua seperti dia hanya berbaring lemah di kasur, atau paling tidak, duduk termenung berharap nasib berbaik hati kepadanya. Atau bahkan ada yang meminta-minta di pinggir jalan dengan modal "umur" yang semakin hari semakin menua.

Nah, pertanyaanya sekarang; bagaimana dengan kita yang masih muda ini?

Kakek itu begitu hebat, bukan?

Kamis, 15 Mei 2014

Antara Mengaji dan Les

Saya punya santriwati. Namanya Anggun. Kira-kira umurnya 6 tahun. Saya mengajar di sebuah TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) sejak SMA.
Lanjut, dia datang mengaji hanya 3 kali seminggu. Orang tuanya menyelingkannya dengan Les di sebuah Bimbingan belajar. Setiap sore, selepas mengajar, saat Anggun tidak masuk mengaji, saya selalu menemui Anggun bersama ibunya lewat di depan rumah. Menyapa.

"Maaf, ya. Si Anggun datangnya hanya tiga kali seminggu, Dek. Tante selang-selingkan dengan les-nya." Kata ibunya dengan logat jawa yang khas.

"Iya, tidak apa-apa, Bu." Saya menjawab semangat. Senyum santun kepadanya sembari mengacak lembut rambut Anggun.

MENGAJI dan LES..
Hal atau permasalahan ini sering saya temui di beberapa tempat. Utamanya saat di penataran guru mengaji. Saya pernah mengikuti penatarannya di paket A dan paket B. Dan alhamdulillah, penguasaan metode dan huruf-huruf hijaiyyah telah diterapkan sebagaimana mestinya.
Nah, di sana pernah ada yang mengeluh kalau sekarang lebih banyak orang tua yang memilih memasukkan anaknya di sebuah lembaga bimbingan belajar ketimbang belajar mengaji. Dan melalui Anggun, dengan metode yang dipakai oleh orang tuanya, sepertinya menjawab permasalahan ini. Mengaji sambil les adalah alternatif terbaik. Mengajarkan anak untuk senantiasa menyeimbangkan antara dunia dan akhirat.

Semoga dewasa nanti, penerapan ini tetap diberlakukan.

Sukses untuk Anggun dan orang tuanya. Dan untuk semua santriku. :*

Bagaimana Caramu Mengabadikan Kerinduan?

Bagaimana caramu mengabadikan kerinduanmu?
Inilah caraku, biar lekat rindu tetap terjaga, biar nyanyiannya tetap terdengar, dan biar keabadiannya tetap terjaga.

Aku mengabadikannya lewat BUKU ANTOLOGI PUISI TENTANG KERINDUAN ini.

---
Biarkan rinduku tetap ada
Mengalir deras di aliran darahku
Meski aku pernah merasa, aliran darahku kehilangan nyawa karenanya

Biarkan rinduku tetap ada
Meski pernah aku mencaci dan bertanya kepada rindu, serupa itukah dia hingga merenggut kebahagiaan?
Bahkan sempat menghunjam nafasku hingga tumpul?
Bukankah kau adalah sebuah indah?
---

TERIMALAH PERSEMBAHAN INI..
PERSEMBAHAN DARI SEBUAH RINDU

Rabu, 07 Mei 2014

Ceritanya Seperti Ini..

Kebersamaan ini sudah ada sejak berbulan-bulan lalu. Namanya kawan, teman, sahabat, pasti akan terus dan selalu teringat di kepala. Selama apapun itu. Kamu bilang akan hilang? Hm.. Menurutku sulit, kecuali kalau kau mengatakan "Saya pura-pura lupa"

Ceritanya ini dipotoin sama Eko, dia selalu jadi fotografer kami. hahaha

Kami baru terima beasiswa. Jadinya, menyempatkan nonton film. Kalau tidak salah, judul filmya saat itu "APARTEMEN 1303", ini horror.. *Saya paling takut film horror T_T


 Ini sudah di  Studio XXI, MP
Cheese..!!!
Nah, itu dia yang namanya Eko, fotografer kite-kite..

Kami hanya mau menghilangkan kepenantan saja. Nonton salah satunya.

Baik, saya sendiri yang pakai jilbab kuning. Inayah Natsir. Dulunya akrab disapa Inayah atau Naya. Sekarang teman-teman malah panggilnya Inay.. *Sukka :D

Yang pakai jaket merah hitam itu namanya Ina. Lengkanya Ina Anggriani. Dia manis, kan? :p
Dia suka sekali barang-barang yang berbau dholpin. *Kalau tidak salah, itu lumba-lumba. ya itu
Si Ina ini paling suka ngajak Jalan, ke manapun itu. Paling sering ngajak makan jagung bakar di Syekh Yusuf, ngajak makan durian, dan jalan-jalan di Mall. 

Eh, iya yang pakai jilbab biru muda dan pecinta biru itu namanya Emit. Suka dolphin juga.. Nama FB nya Emhyt Dokok. Saya sering plesetiin jadi KODOK. hihihi.. Dan dia suka suka saja dipanggil begitu walau awalnya marah :v. Liat deh gayanya, GAYA BANGETT..!!!!! *Piss beb

Satu lagi dari kami. Echa. Lengkapnya Lhenny Sasmitha. Lho kok? Gak nyambung, ya? Hahah, saya juga lupa kejadiannya bagaimana. Echa paling suka ngajak karokean. Dan tak pernah berhasil mengajakku. Sekalipun.

Dan saya sendiri, mereka bilang, iya mereka yang bilang, kalau saya paling suka ngajak nonton. *Ah, tidak juga menurut saya, biasa2 aja kok.

SESI-SESI MENUNGGU JAM TAYANG FILMNYA, Kami makan dulu.. + poto2 (Makanannya lagi dibuat)




*Eh, iya.. siapa lagi kalau bukan si Eko yang jeprett ini? hahahahhahah

Hmm.. ceitanya tidak sampai di sini..

------
BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..

Pasukan hitam-hitam.. haiayya..!!
Eh, btw.. ini di kamar ganti, lho, hahaha
Poto2 2dikit ga papa lah


DAN LIHATLAH...



Lucu? hhahahhhaa.. Bahkan kami pun tertawa melihat semua ini. Sungguh.

Ini sudah direncanakan jauh-jauh hari. Baju couple yang selalu diidam-idamkan. Dan tahukan siapa yang mengusulkan?

Ina.
Ya, dia. *Jempooll

Kami mencarinya sampai jam 10 malam baru dapat. Dengan pertimbangan yang pas, dan dengan semangat yang menggebu-gebu kami dapat itu.
 Ini di Toilet Perpus, hihihihi
 Ini di koridor Perpus. Ina-nya belum datang. 
 Ini keadaannya pas mau rapat

Tuh, kan.. si Emit bergaya lagi.. hahahaha

Sampai sini dulu ya, masih banyak cerita lain yang kami punya. :D

Hmm..
Sahabat, kelak jika ajal telah berdiri di depan mataku, aku harap kalian tidak melupakan ini. Jangan biarkan aku tersisa sebuah nama. Simpanlah aku di salah satu tempat yang terindah di hati kalian. Perjalan hidup kita tak selalu indah seperti benak yang selalu kita gambar di awan kita masing-masing.

Hhh, terimakasih semua semangat kalian untukku. :* :*

Senin, 21 April 2014

Aku Menangis, Tuhan..

Skenario Allah tak akan pernah terpeleset walau sesenti jarakpun. Keadaan dan keinginan yang dikehendaki hati tak lepas dari pengawasannya. Ah, ya..

Sabtu kemarin, selepas pulang dari kegiatan Bedah Buku "Bidadari-bidarari surga", pembicaranya adalah penulisnya sendiri, Darwis Tere Liye. Yah, dia adalah seorang penulis yang notabenenya sangat menjunjung tinggi keberadaan wanita. Bahkan di setiap novel yang dia buat selalu mengangkat derajat wanita. Mulai dari Bidadari-bidadari surga itu sendiri sampai kepada novel secuel "politik action" nya, Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk. Ya, seperti itulah.

Sosok Tere Liye yang begitu menyenangkan, santai, dan komunikatif, dengan raut wajah yang ketika dipandang meneduhkan hati. Hahaha, saya juga tidak percaya bisa mengatakan ini. Tapi itulah yang kurasakan. Saya mungkin menjadi penonton yang masuk kategori antusias menghadiri kegiatan tersebut. Pas mengetahui info melalui Fans page "Darwis Tere Liye" aku langsung menghubungi pihak panitia penyelenggara. Janjian ketemu. Dan deal! Tiket sudah di tangan. Tiba di lokasi pun jam 07.30 pagi dan walhasil ngaret sampai jam 10.00. Saya bersama seorang teman berhasil duduk di kursi deretan paling depan. Berarti peserta masih bisa dihitung jari pagi itu. Kira-kira kami orang ke tujuh. Bayangkan antusias kami. And Jreng! Wajah penulis idolaku bisa dengan jelas kulihat tanpa perantara apapun.
Tere Liye tidak pernah menginginkan adanya sesi poto-poto yang kebanyakan pelaku dunia artistik lakukan ketika bertemu penggemarnya. Ada sesi.. tapi sesi tanya jawab. 


Eh, saya sudah berbicara panjang lebar mungkin. Anggap saja itu sebagai pengantar dari kisah yang ingin kubagi.

Sabtu kemarin, 19 April 2014, bisa kukatakan kalau hari itu jauh dari rencanaku untuk hanya berkunjung ke acara bedah buku itu. Oleh Aya, seorang juniorku di kampus, yang datang jam 08.30 sedang menjual buku dan dia membawanya ke tempat acara. Ada sebuah buku yang menarik perhatianku, tetapi tiba-tiba harganya mengambil kembali perhatianku. Mahal. Sebuah Al-Quran kecil, tebal kira-kira satu centi meter yang kemudian kembali berhasil menarik perhatianku. Stock nya tersisa satu. Dan berhasil dibeli lebih dulu oleh temanku, Dini. Yah, Al-Quran seharga 20.000 rupiah saja. Murah, bukan? Selain itu sifatnya praktis, karena dalam satu juz hanya terdiri dari 5 lembar, jadi ketika membacanya tak terasa kita sudah selesai satu juz. Buku-buku yang dibawa oleh Aya adalah dari toko buku "Mutiara Ilmu", jaraknya tak jauh dari lokasi acara bedah buku. Dan kami memutuskan ke sana. Aya menawariku ke Mutiara Ilmu. Dan selepas duhur dan usai makan siang di rumah makan kami berangkat bersama dengan Dini.


Sebelum ke sana, kami sempatkan sebuah salon kosmetik. Kosmetik untuk si Aya. Hihihihi.. Belakangan, dia sering mengeluh tentang jerawatnya. *Ah, anak muda jaman sekarang :D . Dan menjadi sebuah kebetulan yang sangat, ternyata pemilik salon itu adalah sepupu Dini. Dan jadilah hidangan kue dan segelas minuman dingin berbaris rapi di hadapan kami, siap untuk di teguk di panas terik yang keterlaluan.


It's time to MUTIARA ILMU..

Kami pamitan, bilang terimakasih.

----


5 menit kemudian kami tiba di Mutiara Ilmu. "Waw, waw, dan waw.. kalian semua menggoda sekali." Itu kalimatku menatap hampir ribuan buku terpampang rapi di depan mataku. Ke sana kemari, ke mari ke sana. Tak ada bosan. Ini adalah kali kedua saya ke toko buku di bulan ini. Dua minggu yang lalu juga sama sekali tak kurencanakan. Berdua bersama teman sepulang dari membeli tiket bedah buku Tere Liye. *Ah, kalau mau dipikir, sebenarnya hidup itu selalu saling berkaitan..

Mataku langsung kembali memberi perhatian kepada Al-Quran serupa yang sebelumnya telah dibeli Dini. Dapat. Ambil. Cari buku lagi. Ah, ini juga sama sekali tidak pernah kurencanakan. Buku yang dua minggu lalau saja belum selesai kubaca. Mau beli lagi? Dan hatiku menggoda. "Beli sajalah, mumpung lagi di toko buku. Kamu tidak ngiler, apa?" Hahahahhhahhah.. Saya ngiler, lah.. banget..!!!!!!


"YA ALLAH, DIAKAH JODOHKU?"


Saya masih sibuk mencari buku-buku bacaan. Selalu tertarik ke novel. Sayang, belum ada yang menarik perhatianku. Buku kuliah? Ah, di sana tidak menyediakan..


"YA ALLAH, DIAKAH JODOHKU?"


Saya berjalan menyusuri rak-rak buku lainnya. Tetap mencari. Dan, hey.. "YA ALLAH, DIAKAH JODOHKU?"


Sampul berwarna orange itu menarik perhatianku. "YA ALLAH, DIAKAH JODOHKU?"


"Dini, lihat ini.." Dengan senyum tertahan, kuperlihatkan ke Dini. Aya sedang menghitung sesuatu yang entah apa, dan belakangan baru kutahu itu adalah uang dagangan bukunya. *Wanita hebat, dia..


Kami berseru. Melihat judulnya saja, saya sangat tertarik. Dan buku itu berhasil kuajak pulang.




----

Tuhan.. Hatiku berdesir malam ini..

Tentang dia, tentang sosok sangat kuinginkan akan menjadi imamku kelak
Tuhan, mengapa hatiku bergejolak membaca setiap kalimat dari buku yang telah  Engkau hadirkan untukku sejak dua hari yang lalu?

Tuhan.. Aku menangis, Tuhan...

Bukankah buku ini titipanmu, untukku menjadi wanita sebaik-baiknya wanita?

----

"YA ALLAH, DIAKAH JODOHKU?", karya Burhan Sodiq ini berhasil menggugah hatiku tentang Allah yang sebaik-baiknya perencana. Meski hanya sebuah buku yang kalimatnya sederhana, sesederhana kalimat-kalimat Allah dalam nash-Nya. Tetapi buku ini berhasil merasuki kalbuku, dan mungkin kalbu setiap orang yang membacanya.

---

Tuhan.. Aku menangis..
Meminta kebaikan untukku,
Jagalah dia calon imamku kelak
Entah dia yang sangat kuharapkan, atau dia yang telah kau gariskan
Entah kepada siapa..

Kepada engkau calon imamku kelak..

Jagalah dirimu baik-baik, karena aku telah mempersiapkan diri untukmu
Menjadi wanitamu, yang insyaallah diridhoi oleh sang Khalik
Penjaga hati kita

Kepada engkau calon imamku..

Aku tak tahu harus mengatakan apa nanti jika bertemu denganmu

Tuhan..

Izinkan aku menunggunya menjemput dalam bahagia

Tuhan..

Kepada dia calon imamku, jaga dia baik-baik..

---

Nah, kali ini mungkin saya ingin mensintegrasikan dari bedah buku yang telah terskenario dalam waktu tak lebih dari 12 jam. Bahwa "Bidadari-bidarari Surga" adalah wanita solehah yang kelak akan menjadi wanita idaman setiap insan lekaki soleh. Cobalah kalian beli, baca, boleh pinjam, untuk memahami maksudku dari tulisan ini.

Menjadi wanita yang soleh untuk calon imam kita kelak. Aamiiin, insyaallah.


Adakah kalian tak tertarik membacanya?