Selasa, 24 Juni 2014

Pembiasaan Itu Perlu

Tadi pagi dosenku, Ibu Ummu, bilang kalau metode pembiasaan itu, bagi sebagian pakar pendidikan, menganggap penting dan sebagian juga ada yang menganggap tidak penting.

Lalu kami diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat. Siapa yang menerima adanya metode pembiasaan dan siapa yang tidak menerima. Ada sekitar 4 orang yang mengatakan tidak setuju dengan metode tersebut. Salah satunya Rival. Katanya, pembiasaan itu tidak baik dilakukan dan sebatas hanya mengacu kepada kognitif saja. Sehingga menekan peserta didik hingga terjadi unsur pemaksaan di sana. Sedangkan yang menyatakan setuju dengan metode pembiasaan sekitar 6 orang. Salah satunya saya.

Saya menganggap bahwa metode pembiasaan atau yabg biasa juga disebut metode pengulangan, sangat penting dilakukan. Karena melalui pembiasaan akan suatu kegiatan, maka lama kelamaan akan menjadi sebuah sikap yang tertanam dalam alam bawah sadar. Sehingga mampu berpengaruh kepada kognitif, afektif, dan psikomotorik secara langsung maupun tidak langsung.

Jawaban saya semakin dilengkapi oleh Ahmad. Katanya, "Ala bisa karena biasa". Seseorang yang terbiasa melakukan sesuatu secara berulang-ulang, maka nantinya akan semakin terbiasa akan hal itu. Misalnya, saat membaca surah Al-Fatihah dalam shalat. Bagi peserta didik yang baru menghafalnya, dan sering dibaca dan diulang-ulang saat shalat, maka lama kelamaan akan dihafal mati. Bahkan telah tetanam juga di alam bawa sadar. Dan semakin dilengkapi lagi dengan argumen dari Andi. "Dalam buku Zero to Hero, dikatakan "Bentuklah kebiasaan, maka kebiasaan itulah yang akan membentukmu."

Dosenku yang cantik itu ternyata sepaham dengan kami yang memilih bagusnya diterapkan metode pembiasaan. Karena berasal dari pakar pendidikan yang setuju dengan adanya metode pembiasaan, mengatakan bahwa peserta didik akan terus mengalami perkembangan. Baik secara biologis, mental maupun secara pemikirannya. Maka akan ada saatnya peserta didik mampu mengontrol apa saja yang bisa ia peroleh. Karena telah mampu mengolah informasi dengan baik.

Hmm..
Semakin banyak saya belajar. Semakin banyak pula yang tidak kuketahui.


4 Juni 2014

Puisi Kematian :o

"PUISI KEMATIAN".
Sebenarnya dua kalimat itu saya peroleh dari om tercinta kita. Yang siap memberikan solusi terbaik saat kita membutuhkan banyak informasi. Om Google (hkhkhkhkhk..!)

Tak sengaja saja. Awalnya saya mencari info tentang salah seorang sastrawan yang meninggal dunia. Mencarinya karena sebuah status teman FB saya.

Puisi kematian? Ini mistis! Horror!

Tapi baik. Saya akan mencoba membuat puisi tentang kematian. Ini pertama kalinya membuat tulisan puisi jenis ini. Entahlah jenis apa! *Haha, saya merinding sendiri menulis ini. Tengah malam, Bo'!

Ehm..
_____
Aku tak pernah menatap sebuah cahaya
Tidak pernah
Yang kutemukan hanyalah kegelapan
Sama seperti malam ini

Mataku terbuka
Lebar tak berkedip
Meraba gelap
Tetap gelap

Tubuhku berjalan?
Aku bertanya pada diri sendiri
Serumit inikah?
Sekacau inikah?
Dimana akan kutemukan cahaya?

Ah! Iya, aku terbaring
Bayangan di pikiranku sempurna menggangguku
Menenggelamkan tubuhku yang sudah layu
Bahkan tak bergerak

Tetapi kenapa mataku melotot lebar?
Kemanakah cahaya?
Kenapa sempit sekali?
Aku tak bisa bergerak!
_____

Ada yang bisa menangkap makna dari puisiku?
Saya jelaskan saja, ya.
Saya berusaha menjadi seorang yang mati. Sesuai dua kata di atas, saya mencoba merangkai status ini menjadi sebuah tulisan yang mengandung puisi dan menarik benang baru setelah membacanya.

Ya, saya hanya ingin memberitahu kalau melalui puisi yang seketika ini kubuat adalah gambaran alam kubur ketika kita banyak melakukan dosa saat di dunia. Gelap, sempit, mata melotot mencari cahaya yang tak akan pernah ditemukan. Tak akan pernah. Sebab dosa menutup semua tittik cahaya.

SELESAI.

Intinya, Inspirasi menulis bisa datang dari mana saja. Kuulangi; Ini hal baru buat saya. Mencoba hal baru tidak salah, kan?

*Eh, puisi saya jelek, ya?  

KITA

Kawan, semua ini bukan tentang masing-masing kita ini adalah siapa. Tapi siapakah kita seutuhnya. Maksud saya, kita ini telah menetapkan banyak cerita yang telah menjadi cerita-cerita. Cerita yang sama2 kita punyai. Tak pandang apa, siapa, apalagi kedudukanmu apa.

Satu, dua, tiga tahun belakangan, saya rasa itu semua lebih dari cukup kita memahami kalau kita itu ya kita. Bukan kamu, bukan aku lagi.

Hei, kita masing-masing ini dulunya apa? Seperti kerikil-kerikil kecil saja, kan? Nah, tiga tahun itu bukannya cukup bahkan sangat cukup untuk menyatukan semuanya? Menjadikannya batu besar yang kokoh, kuat, hebat, dan tahan banting?

Hei, semua ini cobaan. Kita semua amat tahu kalau cobaan itu sebenarnya amat manis kalau kita mau memahaminya baik2. Tuhan tidak pernah menciptakan yang bahkan bencana sekalipun itu ada manfaatnya. Semua berbuah kebaikan.

Kawan, masih banyak hari-hari yang sedang duduk manis menunggu bahagia kita nantinya. Mau membiarkan dan memberikan kesempatan sedih itu tertinggal terus? Tidak, kan?

Baik. Kita semua salah. Tidak ada yang benar. Karena semua membenarkan diri. Pun termasuk saya juga. Tapi, kawan. Pahamilah, pahamilah ini adalah cobaan yang indahnya bukan main kalau kita mau memahaminya. Mengambil hikmah saat diam2 masalah datang tanpa permisi.

Seperti sekarang ini yang menjadikan kita kembali ke masing2 lagi. Bukan "kita" lagi. Apa mau seperti ini terus?

Bukannya kita lebih baik kalau menjadi "kita" daripada masing-masing diri sendiri?

jujur, mata saya berkaca-kaca menulis ini. Sambil mengingat keutuhan kita di tahun-tahun yang terlewat. Yang dengan rela meninggalkan banyak cerita-cerita. Hey! Bukan hanya satu cerita, kan?

Kawan, masing-masing kita adalah yang terbaik. Dan akan lebih baik lagi jika kita benar-benar menjadi "KITA"

Seharusnya Begini.. :D

Saya masih ingat kejadian beberapa tahun silam saat duduk di bangku SD kelas 5. Saya termasuk salah seorang siswa yang selalu masuk 5 besar di kelas sejak kelas 1. Jadi, sejak kelas 1 sampai kelas 6, guru-guruku tidak pernah memberi hukuman. Sama sekali tidak pernah. Sekalipun itu.

Tetapi yang masih membekas di pikiran saya, saat kelas 5 SD saya mendapatkan cubitan yang saya sendiri tak tahu asal muasalnya seperti apa. Saya salah? Salah apa? Guruku mencubit dalam-dalam perutku. Aduh! Sakitnya minta ampun.

"Salah saya apa, Bu?" Saya bertanya, membela diri. Bagaimana tidak kalau dipanggil tiba-tiba , disuruh mendekat dan cubitanpun melayang. Parahnya, pertanyaanku tak dijawab. Miris, bukan?

Saya, menangis. Tapi tidak dihadapannya. Kembali duduk di bangkuku, menangis sambil berpikir salah saya apa tiba-tiba dicubit sebegitu ganasnya. Oh, Tuhan.. Saya tidak terima.

Hei, sampai sekarang saya masih berpikir; alasannya apa, Bu???!!! Hahahaha

Perasaan sedih ini kembali muncul saat tadi, di kelas. Dosen saya, Ibu Ummu mengajarkan MK Metodologi Pembelajaran PAI. Dan kebetulan sekali tadi membahas tentang "metode pemberian hukuman", atau biasa disebut metode Targib.

"Pemberian hukuman harus berdasarkan kesalahan apa yang dilakukannya bukan siapa yang melakukannya." Penjelasan Ibu Ummu jelas sekali.

Nah, ini yang bikin saya sampai sekarang berpikir sama guru SD saya, kok tiba-tiba menyubit, ya? Saya tidak pernah mencubit siapapun, kok.

Ini sesungguhnya pelajaran untuk saya pribadi. (Atau kalian juga yang mungkin bisa mengambil pelajaran dari cerita ini). Bahwa, peserta didik itu --apalagi SD-- mentalnya belum kuat- kuat amat. Jadi sekali dikasari, apalagi tanpa sebab yang jelas, bahaya akan terbawa sampai dewasa.

Jadi, kalau memberikan hukuman, berilah sewajarnya saja sesuai dengan kesalahan apa yang ia lakukan. (INGAT: Pemberian hukuman, bukan berdasar siapa yang salah, tapi kesalahannya apa)

Satu lagi; Berilah penjelasan dan alasan kenapa peserta didik kita, kita hukum.

Yayaya

Untuk Anta...

Ketika mendengar keluhan orang tua santri tentang penyakit anaknya, Anta Quryautama Syah. Lama kami tahu, Anta menderita kelainan syaraf di kepalanya. Penyakit ini akan semakin parah jika Anta semakin banyak pikiran. Selain itu, ada tumor di hidungnya.

Pantas saja. Selama ini Anta kurang bisa menyerap pelajaran yang diberikan. Sangattt sulit diperintah untuk menulis. Sangattt sulit mencerna huruf-huruf hijaiyyah. Sangattt sulit menghafal hafalannya.

Saya pernah mencoba menerapkan beberapa metode pembelajaran yang saya peroleh di bangku kuliah. Yaitu metode pendekatan individual dan metode menyenangkan yaitu metode dengan menghubungkan huruf hijaiyyah dengan benda-benda yang mudah diingat. Ya, memadukan metode pembelajaran agama dengan pembelajaran umum.

Anta sangat butuh tambahan motivasi. Dan Alhamdulillah, Anta sudah bisa sedikit demi sedikit mencerna huruf dan mulai bisa meyebutkannya dengan penyebutan yang baik. Tetapi masih sangat sulit menulis dan menghafal hafalannya.

Sekarang, Anta sudah Iqra' 4. Dan ibunya baru beberapa hari yang lalu memberi tahu penyakit Anta. Kami syok, separah itu ternyata. Mata saya berkaca-kaca. Malu menangis di hadapan puluhan santriku. Apalagi ketika ibunya berkata, "Dokter memprediksikan umurnya hanya belasan tahun." Saya hanya bisa mengelus dada dalam-dalam sembari mengusap air mata yang tergenang.

Kemarin, Anta sudah mulai menghafal bacaan-bacaan shalat. Hafalan doa-doa hariannya masih beberapa. Dia yang meminta melangkahi hafalannya langsung ke bacaan sholat. "Saya menghafal itu, Kak!" Dia berseru. Dan kami mengiyakan. Daripada tidak mau menghafal, kan? Meski terbata-bata dan lebih banyak dibimbing saat menghafal bacaan doa i'tidal, setidaknya sekarang semangatnya tumbuh beberapa derajat dari sebelumnya.

Dan ini menjadi PR untuk kami, guru-gurunya. Insyaallh berberkah.

Untuk Anta, semoga Allah memberikan pemahaman yang baik dan kesembuhan untukmu, Dek. Aamiin.