Minggu, 07 Februari 2016

Hitam



Berulang musibah tiba di depan mata. Berlapis tabah di taruh di dada. Beratus kisah pilu memijak kita. Beribu ikhlas di letakkan di hati.
Hari ini, di depan mata kami -bahkan saya- banyak sekali hal-hal yang patut dibalasi rasa syukur yang sering tapi juga disisipi istigfar yang panjang. Orang-orang yang murung, menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di antar kedua kaki. Duduk meratapi betapa kehidupan mereka sangat keras sekali. Di bawah kaki kami, pecahan kaca, kayu yang meng-arang, bangunan mati, hitam pekat di mana-mana, menjadi pemandangan yang berhasil menarik tangan ke atas pipi, mengusap pelan dan sembunyikan air mata. Dan tangan yang memegang kerapuhan yang dulu kuat, yang menyentuh debu yang dulu padat, yang mengusap lembut bangunan yang dulunya berdiri angkuh;kokoh, yang meraba gelap yang dulunya putih.
Berulang musibah tiba di depan mata. Berlapis tabah di taruh di dada. Beratus kisah pilu memijak kita. Beribu ikhlas di letakkan di hati.
Bukankah sejatinya kehidupan sama dengan apa yang mata kita saksikan, sama dengan apa yang kaki kita pijak, sama dengan apa yang tangan sentuhi?
Maka hari ini atau hari apapun dimana setiap kejadian mengandung pelajaran, menarik sebuah kesimpulan yang baik dan membaikkan adalah sebuah keharusan. Dan betapa kita ini kerdil sekali di hadapan Tuhan. Kerdil sekali.

(Merenungi Sekian Kebakaran, Makassar/24/01/2015)