Kamis, 06 April 2017

TERLALU!

Kemarin, saya menonton sebuah video yang berdurasi sekitar lima atau enam menit. Seorang teman fb menge-share-nya dari sebuah akun. Di postingan tersebut, ada beberapa video yang menunjukkan dan mempertontonkan sekaligus lengkap dengan hujatan yang entah. Tetapi saya hanya menonton beberapa. Semacam tidak tega atau malas sekali melihat aksi tidak terpuji  sekelompok orang yang menginjak-injak harga diri orang lain. Terlebih orang itu fakir lagi miskin. Di satu video yang saya tonton -saya tidak bakal lupa kejadian itu-, sekelompok lelaki dewasa sedang berada di atas mobil dan meneriaki seorang pengemis lelaki yang sedang berkesulitan jalan. Sebut saja, kakinya (maaf) "puntung".

Mereka berteriak penuh dengan kalimat hujatan, tertawa, terbahak, bahkan melempari pengemis itu dengan sampah bungkus makanan atau semacam sampah lainnya. "Woi, buka kakimu! Kau bisa berdiri, kan?" Seorang berteriak sambil tertawa. Yang lain kemudian ikut menghujat. Maka ributlah jalan raya sebab mereka. Tetapi, lelaki pengemis itu hanya diam dan memasang wajah tidak tahu. Sok polos. Sok tidak mengerti.

Akhirnya, dua dari sekawanan lelaki dewasa itu turun dari mobil dan yang lain juga ikut turun. Akhirnya, mereka memaksa secara langsung lelaki pengemis itu. Tubuhnya didorong, telinganya terus dicekoki kalimat yang entah.  Tetapi, pengemis itu  tetap bertahan dan masih memasang wajah salah paham. Sok gagal paham. "Kenapa? Kakiku benar-benar puntung, Pak. Saya tidak mungkin bisa berdiri". Kali ini, lelaki pengemis itu membela diri habis-habisan. Wajahnya yang lusuh, diikuti pakaiannya yang kumuh, dan tubuh yang ringkih lagi kurus membuat orang-orang yang berdatangan merasa iba dan percaya dengan pengakuan si lelaki pengemis.

Saya lupa betul, di video itu, apakah ada yang membelanya atau tidak. Tetapi sekawanan dewasa itu juga tidak mau berhenti. Mereka lalu mencari cara supaya lelaki pengemis itu mengakui dan memperlihatkan kesalahannya sehingga tidak ada yang salah paham. Si lelaki pengemis juga bisa jadi sok tidak paham lagi. "Kalau kau tidak mau membuka kakimu, kami akan lapor polisi!" Ancam seorang dari mereka. Yang lain terus menertawai dan memaksa.

Dengan disaksikan puluhan mata, dengan beberapa kamera yang mode videonya diaktifkan, lelaki pengemis itu memulai membuka celana panjangnya di kaki sebelah kiri lalu berganti kanan setelah sebelumnya memohon ampun. Tawa dan cacian semakin riuh tatkala masih ada celana atau semacam kain yang membungkus bagian perut hingga lututnya. Warnanya hitam.

"Buka lagi!"

Lelaki pengemis itu kembali membuka celana pendeknya sambil tertawa kecut. Kini wajahnya mirip seperti pelawak di tipi-tipi yang hobby melawak tapi tidak lucu. Garing. Tidak ada manfaat. Sesekali, wajahnya terlihat sedih, nyaris menangis. Dia menahanya seperti menahan senyumam kecutnya untuk tidak ditampakkan, tapi akhirnya kelihatan juga. Sama seperti orang yang jatuh cinta yang tidak bisa menyembunyikan perasannya.  Bahkan untuk dirinya sendiri.

Setelah membuka celana pendeknya, ternyata masih ada sebuah kain yang nyaris mirip celana tetapi hanya setengah bagian. Kali ini, lelaki pengemis itu sungguh merasa sangat malu. Wajahnya akan ada di mana-mana. Kemana-mana di media sosial dan di mata banyak penonton. Aih, luar bisa wajahnya waktu itu. Saya antara ingin menjewer telinganya atau ingin ikut tertawa karena ekspresinya. Tidak lucu sebenarnya, tapi merasa ditipu sendiri. Dan akhirnya menertawai diri sendiri. Entahlah.

Setelah membuka kain selanjutnya, "Byuuuurr" kaki kirinya menyembul bak mitos putri duyung yang kalau terkena air langsung berubah menjadi manusia ikan. Bedanya, lelaki pengemis "puntung" ini bukan menjadi sesuatu yang lain, tapi kakinya 'kembali' lengkap setelah dihujani banyak kata. Semua yang menyaksikan, menggeleng kepala. Ada yang tertawa dan menyumpahi. Sementara si lelaki pengemis sesekali menggaruk kepala yang tidak gatal dan berusaha menyembunyikan wajahnya dari mata orang-orang dan mata kamera.

Rupanya, sebelum menggunakan celana panjang, lelaki pengemis itu melipat dan menyembunyikan kaki kirinya hingga lutut di bagian belakang. Mirip seperti posisi kaki kiri saat tahiyat akhir saat shalat. Kemudian dibungkus lagi dengan kain, lalu celana pendek, barulah celana panjang. Dan akhirnya terseret-seretlah sisa kain yang seharusnya ditempati bagian kaki mulai dari lutut hingga ujung kuku. Dan akhirnya, "puntung" lah dia. Dan akhirnya, mengemislah dia. Dan akhirnya, dapatlah dia penghasilan dari belas kasihan. Dan pada akhirnya, terkuaklah segala apa yang disembunyikan. Ketahuan dan malu deh akhirnya. Pepatah yang selalu bilang "bagaimanapun tikus mati tersembunyi, pasti akan ditemukan juga" selalu benar adanya. Ini sama dengan jodoh, kalau Allah sedang merahasiakannya, nanti pasti akan terkuak juga. Benar, kan, ya? 😂😂😂

Baiklah, usai sudah kita mengambil pelajaran dari lelaki pengemis. Saya mau mengorek sikap sekawanan dewasa itu. Ada benarnya juga saat mereka ingin mengungkap kebenaran. Namun, caranya yang salah. Maybe, bisa dengan cara menanyai si lelaki pengemis itu di sebuah tempat yang tenang. Sambil menikmati secangkir teh atau kopi misalnya. Lebih keren begitu, kan? 😅

Dan menyoal rizqi, Allah sudah tetapkan bagian masing-masing bagi kita. Tinggal kitanya saja, apakah ingin mengambilnya di jalan keberkahan atau di jalan yang bathil. Wallahu 'alam bisshawaf..

Menjelang April, 2017
,Inay

Senin, 13 Maret 2017

MANDI-MANDI HUJAN

Pekan lalu, saya mendapati dua anak sekolah lewat di depan rumah dan sedang berbincang entah perihal apa. Masih dengan sepatu di kaki lengkap dengan kaos kaki. Tetapi, setelah beberapa langkah, mereka berhenti dan membuka sepatu lalu menarik kaos kaki, dan memasukkannya ke dalam tas. Mereka berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Hujan tidak membuat mereka berlari untuk menghindar. Sementara itu, saya duduk menghadap jalanan yang basah sambil menikmati hujan. Melihat tingkah lucu mereka, saya langsung mengambil gambarnya dengan kamera hape.

Waktu kecil, saat masih berada di bangku eSDe, tentu saya juga pernah melakukan hal yang sama. Alasannya selain karena takut hujan lama berhenti dan akhirnya tidak bisa dijemur dan mengharuskan memakai sandal ke sekolah, bertelanjang kaki adalah hal yang menyenangkan sekali. Bermain air. Saling melempar air dengan kaki adalah hal yang asyik sekali. Paling bahagia kalau wajah dan rambut sudah basah. Rasanya seperti menikmati air terjun sesungguhnya. Padahal kotor atau tidaknya sama sekali dihiraukan. Paling bahagia juga kalau hujan semakin deras. Rasanya seperti dijatuhi milyaran bunga-bunga.

Anak-anak memang menggemaskan sekali.

Kemarin, saya juga mendapati tiga orang anak SD yang sedang bermain hujan-hujanan. Berlarian di depan rumah. Di Makassar, kami sering menyebutnya "Mandi-mandi hujan". Walau sudah mandi, tetap saja, hujan adalah teman terbaik saat ia turun. Mereka berlari, tertawa, bahagia, dan saling melempar air dengan kaki atau tangan. Semakin basah, semakin bahagia. Semakin lama semakin menyenangkan. Semakin banyak teman yang ikut, semakin mengasyikkan. Duh, dunia anak-anak adalah dunia terbaik memang.

Saat hujan, kita dianjurkan untuk berdoa dan meminta hujan yang bermanfaat: "Allahumma shoyyiban naafi'an". Sebab, sejatinya hujan memang adalah berkah, ialah manfaat. Maka tidak boleh mencacinya. Maka, doa itu bagi anak-anak, bagi kita yang suka sekali saat hujan turun, selain karena menyenangkan sekali bersamanya, seharusnya doa itu dihafalkan dan dibaca saat hujan turun. Ilmu sederhana yang manfaatnya luar biasa. Jangan lupa untuk mengilmukan kepada mereka dan diri sendiri tentang salah satu waktu terbaik untuk berdoa adalah saat hujan turun. Maka semoga yang diharapkan, disegerakan oleh sang Pencipta Hujan, Allah yang Mulia.

02 Maret 2017
-Inay-

AR RAHMAN DAN KALIAN

Pada 2011 lalu, dunia maya sempat dihebohkan dengan mahar surah Ar-Rahman sebagai mahar seorang pemuda, Dodi Hidayatullah kepada kekasihnya, Aulia Rahmi Fadhilah. Bahkan video mereka telah menjadi inspirasi buat banyak pasangan yang ingin melangsungkan akad pernikahan. Sehingga hingga hari ini, tidak sedikit perempuan muslimah yang mengajukan kepada lelakinya untuk dimaharkan dengan surah Ar-Rahman.

Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata, "Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata, "Ya,  Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya." Rasulullah berkata, "Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini." Nabi menjawab, "bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu." Dia berkata, "aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi, "Apakah kamu menghafal Quran?". Dia menjawab, "Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi, "Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Quranmu." (HR Bukhari Muslim)
Inilah yang kemudian menjadi dasar, landasan seorang muslim saat menjadikan Quran, khususnya Ar-rahman sebagai mahar namun tanpa mengesampingkan Firman Allah yang lain.

Surah Ar-Rahman seperti diketahui bahwa Allah menjadikannya istimewa dengan penjabaran akan nikmatNya yang sangat banyak. "Fabiayyi alaa  irobbikumaa tukadzdzibaan" ialah kalimat yang sangat indah dan berulang-ulang difirmankan Allah. Sebagai pengingat, sebagai perenungan, bahwa mengapa dengan segala yang Dia berikan, kita sedikit sekali bersyukur. Juga sebagai penegasan bahwa segala yang Allah berikan tidak satupun memiliki catat. Semua manfaat. Maka nikmat TuhanMu yang mana yang kau dustakan? Yang mana? :)

Namun penting dipahami bahwa ketika dua insan menjalin pernikahan, maka sempurnalah separuh agamanya. Maka dengan mahar surah Ar-Rahman, bukan bersebab ingin menunjukkan kepada orang-orang menyoal bisa tidaknya mereka mengaji dengan baik, atau hebatnya hafalan. Tetapi lebih kepada bahwa, si lelaki siap menjadi seorang pemimpin yang mengajarkan Alquran berikut dengan segala ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya. Bukankah itulah sejatinya tujuan pernikahan? Sama-sama beriringan menuju ridho Allah, menuju syurgaNya untuk kelak dibangunkan istana di Syurga, lalu menetap dengan nikmat yang tak terbilang, berdua di dunia, berdua di akhirat? Masyaallah. Akan luar biasa sekali nikmat jenis ini.

Maka hari ini, sahabat kami, saudara kami, teman seperjuangan kami di Relawan Nusantara (RZ) Kak Kaharuddin Hatta dan Kak Unas, telah mengikrar sumpah, mengujar janji untuk saling merangkul tangan menujuNya. Dengan surah Ar-Rahman sebagai mahar terbaik. Saya begitu terkesima dengan segala doa dan harap yang mereka simpan dalam diam. Yang ditaruh rapat-rapat di dalam dada. Di ikhtiar dan ditawakkalkan hanya kepada Allah semata. Benarlah bahwa jatuh cinta terbaik adalah dengan saling mendoakan. Jika tidak bersama dengan dia yang sering kau sebut dalam doamu, kau akan bersama dengan dia yang sering menyebutmu dalam doanya. Sederhana dan menyenangkan sekali mengetahuinya, bukan? (Dilarang senyum,  wkwk)

Saya malah berpikir, mengapa baru sekarang setelah 4 tahun sama-sama berjuang? Tetapi kemudian, saya diingatkan makar Allah lebih kuasa daripada manusia.

Mereka salah contoh dekat bahwa kesederhanaan pernikahan lebih berkah bersebab iman dan agama. Kenapa saya bilang begitu, sebab setelah sah menjadi seorang kepala rumah tangga, Kak Kahar berujar dengan hati yang tentu sedang gemuruh bahagia,  "Saya masih belum percaya kalau hari ini saya sudah menikah." Maka tumpahlah gelak tawa teman-teman yang hadir. Sebab mendengarnya, mengindikasikan dan membuktikan bahwa hari ini adalah hari yang sejak lama ditunggu. (Semoga saya benar, Kaks. Hoho)

Saya yang memantau pernikahan mereka lewat kehebohan teman-teman di WA yang setiap moment pasti diabadikan di chat grup, merasa sedih sekali tidak menyempatkan hadir karena kesehatan tidak membaik.

Maafkan saya. Tapi doa saya sungguh melangit dan mengangkasa, kakak-kakak yang bahagia.

Selamat. Selamat. Dan sekali lagi selamat.
“Barakallahu laka wa baraka ‘alaik, wa jama’a bainakuma fi khair”

Maret 2017
-Inayah Natsir-

TABAYYUN

Kemarin, di siang yang basah, saya menyempatkan berjumpa dengan salah seorang junior di kampus.  Selain karena ingin membicang soal kegiatan launcing bukunya, saya juga berbincang soal isi kepala yang sejak lama ingin dikeluarkan. Bertahun-tahun malah. Yaitu sejak beberapa bulan mengenal dunia kampus di semester-semester awal. Konon, isi kepala saya itu sudah nyaris terkubur dalam-dalam dan nyaris mati dan akhirnya kembali muncul akhir-akhir ini sebab media-media hoaxssssss berjamur dimana-mana, kemana-mana. Banyakan dari mereka gemarrr sekali berbicara laiknya tong kosong yang bunyinya nyaring. Atau semacam bermuka dua dan semacam mau mencari muka. Mau nambah muka lagi.

Organisasi atau yang junior saya itu menyebutnya kalau sebenarnya yang dia geluti adalah sebuah partai yang sejatinya menolak sistem pemerintahan yang jauh dari Quran dan sunnah. Dia memaparkan dengan baik dan logis menyoal alasan, sebab, bahkan tujuannya, maka akhirnya saya mengangguk paham. Sebab sebelumnya memang salah paham karena saya hanya berilmu lewat mulut orang-orang saat masih kuliah dulu. Dan semakin ke sini, saya penasaran dan bertanya, sebenarnya apa alasannya sehingga banyak orang yang membenci organisasi/partainya itu. Benar saja, setelah bertabayyun, setelah berpikir keras untuk mencari tahu, saya akhirnya paham bahwa ilmu itu tidak serta merta harus diterima, bahwa omongan kosong orang-orang itu bisa menjadi pedang yang luar biasa mematikan pikiran untuk tidak berada di jalan yang benar. Ilmu harus diterima dari orang yang bergelut di bidangnya, orang yang benar-benar hidup di dalam sana, orang yang betul-betul sejak lama mengadbi di dalam prosesnya.

Demikian.

BERSIBUK DALAM KEBAIKAN

Ibnu Mas'ud pernah berujar bahwa, "Waktu yang kusesali adalah jika pagi hingga matahari terbenam, amalku tidak bertambah sedikitpun. Padahal aku tahu saat ini umurku berkurang."

Demikianlah, kita bisa mendapati bahwa waktu adalah kesempatan yang baik untuk terus melakukan hal-hal yang baik. Allah menyeru kita untuk giat dalam bekerja. Sebab bekerja ialah ibadah. Bekerja ialah aktivitas yang tak membiarkan seseorang untuk terjerumus dan membiarkan seseorang bertindak maksiat kepada Allah. Allah menyeru kita untuk senantiasa mengisi waktu luang dengan beribadah. Sebagaimana firmanNya dalam Qalam yang mulia, "Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)" (Q.S. Al-Inshirah:7)

Sebab, Allah tidak ingin ada waktu jeda yang memberi syaitan celah untuk merusak waktu beramal kita. Waktu berbuat baik kita. Waktu kita untuk menciptakan amal-amal kebaikan.

Maka, marilah bersibuk dalam kebaikan. Mari bersibuk dengan amalan-amalan. Jangan biarkan ada waktu yang kosong, sebab kekosongan ialah sesuatu yang sia-sia.

BERJUANG ITU..

Berjuang ialah apa yang sepenuhnya kita usahakan. Tidak setengah-setengah. Tidak pernah sederhana. Berjuang adalah segala yang apa kita ikhtiarkan dengan kesungguhan. Tidak pernah main-main. Tidak pernah biasa-biasa saja. Berjuang yaitu semua yang kita inginkan terjadi dengan cara yang tak biasa namun tak pernah aniaya.

#PerjalananMenuntutIlmu
#QadarullahDitemaniHujanDiSoreTadi
#IkhtiarTawakkalManfaat

LA TAHZAN, INNALLAHA MA'ANA

Ada waktu ketika seseorang bersedih bersebab hal-hal yang tidak bisa ia ungkapkan. Ada masa saat seseorang begitu sangat berduka tersebab kepergian yang jikapun disampaikan kepada banyak orang, ia akan tetap merasakan hal yang sama. Kesedihan yang mendalam. Kedukaan yang terlalu.

Bersedih boleh-boleh saja. Air mata jatuh, sah-sah saja. Tetapi jika berlarut dan terlalu, berarti kita belum percaya, belum yakin, bahwa Allah ada dan akan mengeluarkan kita dari segala bentuk kesedihan. Allah ada untuk menuntaskan segala macam gunda. Allah senantiasa di sisi orang-orang yang percaya padaNya bahwa denganNya segala urusan bisa dituntaskan. Mampu terselesaikan.

"Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah selalu bersama kita". (QS.At Taubah : 40). Ya, La Tahzan, la Tahzan, wa La tahzan.

Bukankah berlarut dalam kesedihan tidak dianjurkan? Yang berarti ketika kita berlarut, berlebih, maka kita tidak menerima segala bentuk takdir Allah. Qadarullah adalah sebaik-baik perencanaan. Tidak ada satupunkeburukan yang Allah rencanakan bagi hambaNya yang bertakwa.

La tahzan.

Sesungguhnya Allah selalu bersama kita.

La tahzan

Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.

La tahzan

Sesungguhnya banyak bahagia satelah kesedihan.

La tahzan

La tahzan

La tahzan

KELAKUAN, KETAKUTAN, DAN ANAK-ANAK

Tadi pagi, di kelas menjadi saaangatt riuh sekali. Beberapa memasang wajah ketakutan dan berteriak histeris. Bisa kubayangkan, di kepala mereka banyak sekali kemungkinan-kemungkinan buruk. Dada mereka dag dig dug berirama. Seperti melihat hantu atau seperti sedang bermain petak umpet, tubuh dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan, sempurna tenggelam di bawah meja. Mereka menutup mata. Tidak peduli kalau lantai yang sedang menempel di wajah mereka adalah bekas sepatu yang entah telah berjumpa dengan apa.

Lima orang perawat masuk dengan membawa sebuah tas obat-obatan. Satu dokter berpakaian merah marun dengan sarung tangan melekat di jemarinya. Sebenarnya saya tidak ingin membuat mereka kaget, takut, apalagi sampai histeris seperti perempuan-perempuan alay yang berjumpa dengan artis idolanya di Mall-mall atau di konser musik. Oleh sebab itu, sebelum perawat itu masuk ke kelas, saya bertanya kepada anak-anak, siapa yang pernah ke rumah sakit. Beberapa dari mereka mengunjuk jari, "Saya Bu! Di Rumah Sakit disuntik." "Oh, ya? Rasanya bagaimana?" Saya menimpali. Mencoba mengorek informasi. "Tidak, Bu. Rasanya hanya seperti digigit semut." Saya lalu mengelus kepalanya. "Pintar."

Yang lain tidak mau kalah, "Ibu, saya pantatku pernah disuntik karena luka jatuh dari sepeda." Ucapnya semangat. "Tidak sakit, kan?" "Iya, Bu. Tidak."

Lalu saya bilang, "Ibu mau tanya, kalau disuntik berarti apa? Kita akan sehat atau sakit?" Mereka kompak menjawab "Supaya sehat, Bu." Saya tersenyum dan kembali berkata-kata, "Nih, lihat Ibu," sambil mengangkat dan mengepal kedua tangan seperti seorang atlet tinju yang berhasil meraih poin terbanyak, "karena waktu seumur kalian Ibu juga pernah disuntik, makanya sekarang sudah sehat." Dan saya tidak menyangka kalau mereka akan bertepuk tangan, "Yeee". Haha

Tapi tips dan trik dari kepala saya itu lumayan berhasil, saat Perawat dan Dokter itu masuk dan menarik sebuah meja dan kursi, hanya ada dua anak yang histeris dan bersembunyi, satu anak duduk menempel di pojok paling belakang dan menutup wajahnya dengan kedua lengannya. Yang lain malah langsung antri, "Saya duluan! Saya duluan". Melihat mereka berebutan, saya merasa lucu sendiri dan tertawa kecil. "Antri, Nak. Antri." Para perawat juga membantu merapikan posisi mereka.

Tidak lama kemudian, semua yang antri telah usai menunaikan haknya. Sisa empat anak lagi. Segala daya dan upaya telah dikerahkan. Tetapi mereka tetap bertahan, dua anak perempuan masih berteriak-teriak, "Tidak mau!!! Nanti sakit!!! Saya mau pulang!!!" Melihat kelakuan mereka, saya mengenang masa eSDe dulu, teman saya yang bersembunyi di bawah meja malah disuntik di sana saking tidak ada pembelaan apapun yang ia dengar.

Satu menit. Dua menit. Akhirnya tiga anak luluh. Bersisa satu. Ia terus berontak. "Bawa kemari saja, Bu." Dokter yang pipinya tembem tapi manis itupun memerintahkan. Saya dan dua orang Perawat memapahnya ke depan kelas. "Sini,  Aliya, Ibu temani. Aliya peluk Ibu juga tidak apa-apa."

Akhirnya perjungan berakhir. Sambil menangis, saya menarik lengan bajunya ke atas dan dokter menyuntiknya. "Sakit? Tidak, kan?" Aliya diam. Tidak lagi mengeluarkan air mata. Sementara beberapa temannya mengejek, "Huuu.. Cemennn!!" Cemen, kalau sayya tidak salah itu artinya "payah".
"Husst! Jangan diejek, tadi Aliya hanya belum tahu rasanya, sekarang sudah tidak menangis lagi. Berarti Aliya sudah hebat sekarang." Saya tentu membela Aliya. Sayang sekali air matanya jatuh hanya karena ejekan.Mereka akhirnya berhenti.

Bu Dokter pamit, anak-anak lalu bilang terimakasih bersama-sama.

"Ibu kenapa tidak disuntik juga?" Agil yang memang selalu paling banyak pertanyaannya mendekat ke hadapan saya. "Ibu, kan sudah pernah kecil seperti kalian. Pernah SD. Jadi sekarang tidak disuntik lagi." Agil tertawa pelan, "Ooohh.."

Lalu saya menghibur mereka dengan bernyanyi lagu "Di sana Senang, di Sini Senang" dan "Gelang sipaku Gelang" dengan tepuk dan lambaian tangan.

-Makassar, 24/11/2016-

(Bukan) ERANG-ERANG

Kami berjalan menyusuri Jl. Maccini Sawah sekitar 20-30 meter dengan masing-masing parcel di tangan menuju lokasi kebakaran. Jumlah parcel sebanyak 21. Satu parcel popok bayi dan 20 parcel perangkat belajar lengkap dengan sepatunya. Jadi belasan parcel di angkut dengan becak motor.

Di perjalanan, dari kejauhan, orang-orang yang asik duduk-duduk di depan rumahnya beralih pandang. Rupanya rombongan kami berhasil mencuri mata mereka. Semakin dekat, wajah mereka terlihat penasaran, "Erang-erang itu?" dua orang perempuan bertanya sambil sedikit tersenyum. Barangkali mereka menduga-duga antara pertanyaan mereka akan terjawab iya atau tidak. Sebab wajah kami cumal minta ampun. Tidak ada polesan sama sekali. Tapi sungguh hati sedang bahagia-bahagianya.

"Bukan, Bu." Kompak kami menjawabnya. Yang lain menjawab, "Untuk anak-anak korban kebakaran, Bu." Tawa kami tetiba renyah. Sementara dua perempuan itu mengangguk, "Oh, iya tawwa." Anak-anak mereka tidak ketinggalan untuk menggoda kami, "Satu dule, Kak."

-----

Duuhh.. Moment ini! :D

#KRNKeReN

AHOAKS

Tadi siang, pas senang-senangnya istirahat, seorang teman datang dan tetiba duduk di samping saya, "Bagaimana menurutmu tentang Ahok?"

"Tentang yang mana?"

"Saya pikir dia tidak menistakan Alquran." Ucapnya yakin.

Saya tertawa kecil karena mendengar kalimatnya. Lalu saya jelaskan seawal-awalnya sampai Gubernur non aktif itu didemo besar-besaran. Saya tarik ayat yang dilecehkan dan menjelaskan maknanya dan makna pidato orang yang dulunya wakil Gubernur DKI itu.

Dia selalu mengelak. Memotong bicara saya. "Dia tidak bermaksud seperti itu", "Salah paham umat islam", "Tidak seperti itu maksudnya.."

Tetapi saya terus berbicara. Menerangkannya tentang kata "dibohongi pake al-Maidah dan dibohongi al-Maidah". Lalu saya lanjut menjelaskan tentang kata "dibodohi". Aduh! Bahkan saya geram sendiri menyebut kalimat orang asing itu.

Tapi.. Wallahu a'lam.. Teman saya itu tetiba diam. Mungkin sedang mencerna.

BAHAGIALAH

Hari ini ada yang membuat saya haru setengah hidup. Jika setelah membacanya kamu malah cengengesan atau diam, atau hatimu tiba-tiba batu, saya sarankan untuk segera ke dokter untuk mendapatkan perawatan terbaik. Hehe, saya bercanda.

"Hal terindah dari seorang guru adalah bukan saat tersenyum bahagia. Tetapi saat butiran air matamu terjatuh ketika melihat sukses yang diraih anak didikmu.

Bukan pula karena penampilanmu. Bukan. Apalagi kecantikanmu yang memesona banyak mata. Tetapi karena tulus ikhlasmu memberi pelayanan yang tiada henti kepada anak didikmu.

Maka kalian adalah pelita yang dinanti, permata yang dirindu dan embun penyejuk lara."

Demikian kalimat indah Lala Adhiatama. Beliau adalah seorang guru, inspirator, orang hebat, master Matematika, dan masih banyak lagi prestasinya di dunia pendidikan. Selama dua hari, guru SD kelas 3 dan 4 se-kecamatan Tamalate yang terdiri dari 40 sekolah, diundang dalam pelatihan Menjadi Guru Profesional khususnya pada Mata Pelajaran Matematika. Jangan tanyakan kenapa saya bisa berada di antara mereka yang jelas-jelas adalah lulusan PAI. Saya tidak memiliki jawaban. Dan tidak akan menjawab.

Pak Lala, begitu kami menyebutnya adalah penemu metode belajar matematika dengan cara yang gampang yang menyenangkan. Hasilnya, saya yang 'buntu' di kehidupan itu merasa tertantang dan jatuh cintalah saya sedikit pada (matematika) nya. Hasil pikirnya itu telah tersebar di berbagai kota dan daerah di Indonesia. Beliaau berkeliling membagi ilmu dengan rekahan senyum yang tidak dibuat-buat. "Masuklah ke dalam kelas dengan antusias dan tersenyum lebar kepada anak didikmu." Demikianlah pesan dan contoh yang beliau berikan. Saya dan puluham guru tetiba menjadi murid SD lagi.

Pak Lala adalah utusan dari PT. Penerbit Duta yang menerbitkan buku-buku paket pelajaran Sekolah dari SD hingga SMA, LKS, dan lain sebagainya. Dan rupanya penerbit itu dekat sekali dengan rumah saya. Hanya butuh waktu 5 menit untuk sampai ke sana. Dan sayapun tahu itu setelah pimpinan PT. Penerbit Duta menyampaikan lokasi kantor yang bertindak sebagai penyelenggara.

Etapi selanjutnya saya tidak sedang akan membahas sejarah berdirinya perusahaan tersebut.

Anak didik, terutama anak SD adalah pondasi. Rumah pertama bagi ilmu pengetahuan bisa menetap dengan baik. Rumah pertama bagi sikap baik bisa hidup dengan bijak. Rumah pertama bagi harapan untuk bisa tumbuh dengan subur.

Dari sana, pendidik bisa memanen hasil jika bibit dan pupuk yang dipakai berkualitas baik. Pendidik bisa mendapatkan kepuasan batin saat mereka tumbuh dengan gagah dan kita dapati bahwa pernah ada kita di kehidupan mereka dahulu. Yang mendidik, yang mengajari baca tulis hitung, yang memotivasi untuk tidak malu tampil di depan kelas, untuk berani bertanya hal apa saja, dan untuk berani menjawab walau kadang tidak benar, yang penting menanamkan rasa berani dan percaya diri.

"Jika sejak kecil rasa percaya diri kalian tidak dimunculkan, sampai besar kalian tidak akan memilikinya. Mau memelihara hal yang kurang baik?" Itu adalah pertanyaan yang sering saya sampaikan saat ada satu dua anak didik yang rasa percaya dirinya kendur dan layu. Mereka lalu diam. Dan salah satu di antara mereka akan mengunjuk jari dan ikutlah yang lain melakukannya.

Sebagai pendidik, saya tentu merasa senang melihat semangat mereka begitu membara. Jika air bisa memadamkan api, dalam mendidik, api (semangat) harus berjumpa dengan api (semangat). Maka riuhlah kelas dengan keriuhan yang baik.

Awalnya, memang selalu ditemukan hal-hal yang sulit. Tetapi saat mengajar guru seharusnya juga sedang belajar. Mempelajari watak, karakter, atau sifat peserta didik. Peserta didik masuk kategori pembelajar visual-kah, auditori-kah, atau kinestetik. Dari sana, atas izin Tuhan, guru akan dengan mudah memahami, belajar, dan mendidik dengan bijak.

Nah, dalam kegiatan pelatihan yang digelar di Hotel Prima diangka 3 dan 4 di bulan Oktober ini, saya banyak sekali membawa pulang oleh-oleh. Mau?

-Makassar, 04/09-
Inay

PERTANYAAN CINTA

"Ibu guru, kenapa kalau saya sedang main sama teman, di hati saya seperti ada yang sedang berbicara bilang 'Pergilah belajar! Pergilah belajar!'." Murid saya yang akrab disapa Cinta tiba-tiba mendekat saat jam pulang sekolah. Wajahnya yang sepintas mirip bule' itu terlihat bingung.

"Itu artinya, ada malaikat yang membisiki ke arah kebaikan." Saya mendekatkan wajah lebih dekat, "Cinta, kalau ada yang ajak berbuat  baik, mau?"

Dia mengangguk pelan.

"Nah. Belajar itu, kan baik. Jadi malaikat tidak mau kalau Cinta terus-terusan main." Saya memasang wajah yakin. "Main boleh. Asal jangan terlalu. Belajar juga penting sekali."

Dia menggangguk lebih cepat.

"Sebaliknya, kalau Cinta terus-terusan main, itu justru ada yang menggoda." Saya tersenyum sebentar dan kembali berbicara, "Setan."

Walahnya tiba-tiba berubah menjadi takut.

"Jadi Cinta mau belajar atau main terus?"

"Belajar, Bu."

"Nah, gitu!"

Saya pikir, jawabannya sudah tuntas. Dia sudah benar-benar paham. Saya lalu merapikan dan memasukkan barang-barang ke dalam tas.

"Ibu guru!" Dia memanggil lagi dengan wajah bingung.

"Hm?"

"Saya juga pernah mimpi Bapak saya kecelakaan saat mau pergi menjual di pasar." Ayah Cinta memang adalah pedagang rempah-rempah di pasar Pa'baeng-baeng. Saya tahu karena pernah diberi sebungkus rempah-rempah; bawang-bawangan, dkk. Lengkap dengan arahan, "Kalau misal Ibu ke pasar, silahkan singgah di kios saya, ya, Bu."

"Maksudnya kecelakaan bagaimana?" Gantian, saya yang berubah bingung.

"Jatuh dari motor, Bu."

Hmm.. Saya menimbang-nimbang jawaban. Mencari jawaban terbaik untuk anak seusianya. "Itu artinya, kalau Bapak Cinta ke pasar, Cinta harus sudah bangun. Doakan Bapak biar selamat di jalan. Pulang juga selamat sampai rumah."

Dia mengangguk, "Iya, Bu."

"Karena doa itu yang akan menyelamatkan Bapak Cinta dari hal-hal yang tidak baik. Bukan hanya kecelakaan saja."

"Cinta mau doakan Bapak, kan?"

"Iya, Bu."

"Jadi kalau Bapak Cinta ke pasar, Cinta mau bangun lebih awal?

Dia mengangguk dan tersenyum. Wajahnya yang berseri-seri lalu menyalami tangan saya dan berpamitan pulang.

-29/08/16-

Rabu, 08 Maret 2017

OLEH-OLEH ROTTERDAM

"Berapa bulan mako sama Andi?"

Saya tidak begitu jelas mendengar jawabannya karena suara anak SD itu agak kecil. Sementara temannya yang bertanya mengangguk (sok) paham.

Ada sekitar empat sampai lima kumpulan anak SD hingga SMP usia belasan yang merumput (baca: duduk di atas rumput) di Benteng Rotterdam pagi tadi. Di samping kanan saya, ada empat anak perempuan, di hadapan saya ada tiga. Sementara di samping kiri ada sekitar belasan anak laki-laki dan perempuan. Dan di sisi lain, ada beberapa anak laki-laki yang asik ngobrol dengan temannya. Ada juga yang duduk di tangga sebelah kanan gereja.

Saya jadi penasaran dengan mereka. Tidak ada pendampingan dari orang dewasa sebagaimana seharusnya. Mereka mengenakan pakaian juga ala-ala mau-mau gue saja. Tidak seperti rombongan anak SD yang didampingi guru-gurunya untuk berwisata belajar. Maka kepada empat anak perempuan di sebelah kanan, saya bertanya tentang alamat rumah mereka, asal sekolah, dan tentu alasan tentang kehadiran mereka di tempat wisata peninggalan Belanda itu. "Jalan-jalanji, Kak. Cari suasana baru." Jawab mereka kompak. Dua di antaranya lalu berselfie-selfie ria, "Sembilan foto, nah."

Lalu, apa yang akan datang di benak saat mendengar pertanyaan, "Berapa bulan mako sama Andi?" dari anak ingusan?

Deg!

Baiklah. Pertanyaan itu memang seringkali muncul saat seseorang penasaran dengan sebuah hubungan yang entah pacaran atau telah menikah. Dan adalah "sesuatu sekali" saat anak SD menanyakan hal itu kepada teman sebayanya. Itu artinya..

Saya tidak begitu paham dengan kisah kasih di sekolah. Tapi seperti kata Almarhum Abang Krisye, "Sungguh aneh tapi nyata." Yah, kita harus menerima kenyataan kalau saat ini kehidupan anak usia belasan sudah terenggut dengan lembutttt sekali. Seperti helai-helai kapas yang jatuh dari buahnya di atas pohon. Ke arah mana angin membawanya, itu tidak menjadi urusan semua orang. Tetapi, saat melihat anak-anak kita terbawa angin, itu menjadi urusan (nyaris) semua orang. Orangtua, guru, masyarakat atau dalam Islam, dikenal bahwa saling nasehat menasehati adalah tugas semua muslim.

Adalah urusan orangtua sebagai madrasah pertama dan utama dalam men-tarbiyah-kan anaknya. Orangtua yang baik tentu mencetak generasinya sebagaimana baik dirinya. Tetapi, seperti anggapan yang sering saya temui di orangtua bahwa pergaulan vs lingkungan buruklah yang menjadikan anak mereka seperti bukan anak-anak lagi. Tidak salah memang. Sebab lingkungan dan pergaulan sangat berperan penting dalam membentuk sebuah karakter. Tetapi jika orangtua tidak menanamkan nilai-nilai kehidupan yang sebaiknya bekerja di kehidupan mereka sejak dalam buian, tentu anak yang paham, walau mendapat beragam godaan, tidak akan ikut-ikutan untuk eksis dengan cara tidak benar. Eksis yang benar seperti berprestasi dalam cabang seni atau olahraga. Anak-anak SD yang mewakili sekolahnya di ajang Jambore Nasional misalnya.

Guru yang notabenenya diberi gelar sebagai pendidik juga sebaiknya tidak sekadar mengajar lalu laku peserta didik dianggap tidak begitu penting daripada intelektualnya. Pendidik, sudah pasti tugasnya mendidik. Lalu masyaraat juga tidak boleh tinggal diam. Dengan membiarkan anak-anak menjadi sedemikian menakutkan bagi masa depannya, diamnya kita hanya akan membuat kebaikan bagi mereka juga ikut diam.

Maka terakhir, akan saya tutup keresahan ini dengan mengoyak kalimat seseorang yang kurang lebih maknanya begini, “Anak adalah ladang, tanami tanaman yang baik atau ladang itu akan kosong, mengering, lalu tandus.”

.. Sepulang dari Rotterdam, 21/08/16 ..
-Inay

PELAJARAN DARI APEL

Andai kita menjadi seorang yang hina, mungkin ungkapan yang pertama keluar dari lisan kita adalah bertanya bagaimana caranya agar bisa menjadi baik sementara dosa begitu bergelimang. Adalah sesuatu yang memancar kebaikan jikalau hal itu dipertanyakan sebab Allah sedang menunjuki kita ke arah cahaya. Sebaliknya, jika kehinaan begitu terpelihara tanpa duga-duga ingin memperbaiki, maka gemiricik demi gemericik dosa akan demikian menjadi seperti kubangan lumpur yang membahaya.

Telah tiada arti sebuah apel jika cara memperolehnya harus dengan kehinaan. Tiada berkah berlembar-lembar rupiah jika jalan untuk meraihnya adalah hina dina. Walau dengan sisa-sisa tenaga, walau dengan ujung-ujung kuku sisa pernapasan.

Allah tidak melihat bagaimana manusia bisa dengan mudah menggenggam sesuatu, tetapi Allah menghargai proses kebaikan yang walau beroleh satu atau setengah gigitan apel, darah berada di titik penghabisan. Maka, ada banyak pula perjuangan keras hingga berlumur keringat dan harap yang akhirnya bertekuk lutut hingga mendatangkan banyak kebaikan.

Kamu tahu kisah Sitti Hajar, Ibunda Nabiullah Ismail as? Beliaulah sebaik-baiknya teladan dalam mencari rejeki yang sebelumnya tersembunyi. Beliaulah sebaik-baik nasehat untuk meraih gelimang kehidupan setelah berlelah mengais kaki yang berlomba mencari rizqi. Beliaulah sebaik-baik amanat yang tidak berputus asa atas Allah yang ia tahu tidak pernah akan menyiakan makhlukNya.

Di tengah padang yang gersang, beliau melintas mengelilingi bukit Shofa dan Marwah sebanyak tujuh kali putaran dengan terus mengais tanah sambil terus berharap ada setetes air yang memberitahukan kalau keselamatan sedang bersamanya. Dan tersebab kalamullah, Allah yang Maha Pengasih lagi Mulia memancarkan mata air di dekat Ismail. Betapa berdegup bahagia Hajar saat melihat rizqki itu datang tanpa disangka-sangka. Air zam-zam namanya, air tersuci di muka bumi ini.

Lalu tadi, saat senja datang pelan-pelan, saya meminta tolong kepada salah seorang kawan untuk mengantar saya ke tempat pete-pete di Pettarani selepas berkegiatan dengannya. Selama ini, sepanjang perjalanan saya dibonceng, sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana getar-getar saat polisi menilang. Biasanya, saya hanya mendengar atau membaca tentang berita-berita tidak mengenakkan tentang polisi lalu lintas. Tetapi, saat asik bertukar kata dengan kawan saya, tiba-tiba di hadapan kami polisi berdiri menyergap dan dengan segera meminta SIM dan STNK. "Kemarikan motormu!" Ucapnya agak kasar. "Tahu kesalahanmu apa?" Pak Polisi yang perutnya besar itu bertanya sambil memeriksa surat-surat di tangannya. "Teman saya tidak pakai helm, Pak." Kawan saya itu menunjuk saya dengan tersenyum sementara wajah saya mulai terlipat-lipat. Tangan saya juga dingin mengeluarkan keringat. Saya gemetar lalu bertanya pada diri sendiri, "Seperti inikah rasanya ditilang?"

Belum sampai di situ, saya memang salah. Oke saya akan begitu sangat mengakuinya. Tetapi yang semakin membuat saya tidak percaya adalah Pak Polisi bersama tiga rekannya itu menulis surat tilang tanpa menyerahkannya sementara dia mengancam untuk membawa kasus itu ke persidangan. Singkat cerita, dia meminta uang seratus ribu, tetapi dengan berbagai nego dan taktik sana-sini, akhirnya tigapuluh ribu diterima dengan terpaksa berlapang dada.

Saya tahu itu salah. Pak Polisi itu sebaiknya memperlihatkan surat tugas tilang terlebih dahulu atau tidak dengan mudah menutupi kesalahan kami dengan rupiah. Tetapi kecemasan yang semakin memuncak membuat kami harus menuruti maunya. Penyogokan, maaf, itu sangat terpaksa dilakukan.

Sebagian polisi lalu lintas kabarnya banyak melakukan hal demikian. Meminta uang lantas urusan selesai begitu saja. Mengancam hingga menakuti lalu kemudian berhasil dan sejumlah rupiah digenggam dengan erat. Lucunya lagi, saat mengambil uang tadi, tetiba tubuhnya dibalut jaket cokelat tebal hingga tidak dikenal lagi bahwa identitasnya adalah seorang polisi.

Eia, tadi saat ditanya berulang kali, Pak Polisi yang pipinya tembem itu akhirnya menyebut namanya. Tapi saya tahu dia sedang berbohong.

Maka bekerja dengan tanpa menghawatirkan apa yang diharapi, sungguh Allah akan jaminkan keberkahan rasa atas sedikit banyaknya apapun yang Dia beri. "Sesungguhnya Allah cinta kepada hamba yang berkarya dan 'itqan (tekun-terampil). Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang yang berjuang di jalan Allah." (H.R Ahmad).

13/08/16
-Inay-

BUKAN SOAL ADA, TAPI SOAL RASA

Siapa yang tidak pernah menerima kebaikan dari orang lain? Buku, permen, atau barang lainnya, rasa hormat, kepercayaan bahkan cinta. Atau kebaikan-kebaikan yang diperoleh berkat dari perjuangan, kerja keras, keringat hingga cucuran air mata dan doa-doa yang begitu dilangitkan. I think it's what we call "enjoyment".

Lalu kenikmatan itu seringkali kita timpali dengan membanyakkan syukur dan terimakasih. Bukan hanya kepada si pemberi, tetapi melafadznya lebih kepada yang Maha Memberi.

Kita tahu kalau rizqi masing manusia takkan diambil orang. Dia memiliki waktu, juga tempatnya masing-masing. Tidak pernah terlambat, tidak pernah aniaya terkecuali cara berolehnya yang menyebabkan.

Namun, ada hal yang kita sama-sama rasakan. Tentang berkah, tentang kenikmatan. Sebab rizqi adalah soal rasa.

Saat di bangku perkuliahan, perdebatan sesama mahasiswa  menjadi hal biasa. Waktu itu, pembahasan berputar soal rizqi. Hingga ada yang bertanya, "Bagaimana dengan orang-orang yang tidak beribadah kepada Allah, mereka justru sedang berlimpah harta, bersusun-susun berkas tanah di lemarinya sedangkan kita melihat kondisi umat islam yang semakin beribadah, justru Allah memberinya berbagai macam cobaan dengan lapar dan dahaga?" Dia lantas memberi contoh tentang "orang-orang pribumi" yang tidak "beribadah" tetapi memiliki banyak perusahaan besar dan membandingkan dengan orang berkecukupan yang rajin beribadah dan pekerja keras tetapi hidupnya masih begitu-begitu saja.

Waktu itu, ada yang menjawab dengan menyertakan landasan Q.S Al-Baqarah:155-156. Ada juga yang bilang kalau justru mereka hanya akan menerima harta di dunia, tetapi di akhirat kelak mereka tidak akan memiliki apa-apa selain siksa yang panjang. Yang lain juga tidak mau kalah dan bilang kalau harta tidak akan dibawa mati, biarlah mereka memilikinya di dunia, lagipula, kita ditugaskan untuk memperbanyak ibadah bukan memperbanyak harta.

Tidak ada yang salah dari semua jawaban.

Tapi tahukah?
Rizqi sama sekali bukan yang tertulis sebagai angka ganjil. Mereka yang berlimpah nominal, ada yang justru lebih nyaman tidur di atas nipan bambu tanpa bantal.

Rizqi sama sekali bukan soal apa yang sanggup dibeli. Mereka yang berlimpah kekayaan, ada yang lebih suka mewakafkannya kepada anak yatim dan dia sendiri menetap di desa, jauh dari hiruk pikuk kota, sekadar mencari ketenangan di dadanya.

Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dikuasai. Ada banyak yang berkuasa, tetapi ada saja yang merasa bahwa itu hanyalah sebuah beban lantas dia melakukan tindakan bunuh diri.

Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dimiliki. Mereka yang memiliki banyak kekayaan, ada saja yang menghalanginya untuk menikmatinya. Dia memiliki segala makanan yang ada, namun karena penyakit, dia dilarang dokter untuk mengkonsumsinya. Atau dengan penyakit, dia justru ketakutan untuk naik pesawat terbang padahal perusahaan penerbangan adalah miliknya.

Maka, seorang ulama sekaligus cendekiawan muslim yang ada pada masa awal kekhalifahan Bani Ummayyah, Hasan Al-Bashri pernah didatangi oleh seseorang yang mengaku penuh dosa dan berkata rizqinya lancar bahkan bertambah banyak. Mendengar hal itu, Hasan Al-Bashri bertanya, "Apakah engkau qiyamul lail semalam?" Seseorang itu berkata tidak. Lalu berujarlah Hasan Al-Bashri, "Sesungguhnya jika Allah langsung menghukum semua makhluk yamg berdosa dengan memutus risqinya, niscaya semua manusia di bumi ini sudah habis binasa. Sungguh dunia ini tak berharga di sisi Allah walau sehelai nyamuk pun, maka Allah tetap memberikan rizqi,  bahkan pada orang-orang yang kufur kepadaNya."

Sesungguhnya, yang dihalangi dari seorang pendosa adalah rasa nikmat yang dikaruniakan Allah dari berbagai bentuk rizqi tersebut. Rizqi tetap hadir, tapi rasa nikmatnya dicabut. Rizqi tetap turun, tapi rasa lezatnya dihilangkan. Begitulah Ust. Salim A.Fillah pernah bertutur.

Maka, menurut Imam An-Nawawi, "karena dosa yang menodai hatinya, hamba tersebut kehilangan kepekaan untuk menikmati rizqiNya dan mensyukuri nikmatNya. Dan ini adalah musibah yang sangat besar."

"Rizqi adalah soal rasa. Jika telah ada "rasa", maka terjagalah kita dari dosa-dosa." Lanjut ust. Salim.

"Maka aku katakan kepada mereka, "Mohonlah ampunan kepada Rabb kalian. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengam lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan di dalamnya sungai-sungai." (Q.S Nuh:10-12).

Wallahu 'alam bisshawaf..

Makassar, 07/08/16
-Inayah Natsir-

NADIN

Namanya Nadin. Dia adalah anak dari bujang atau tukang bersih-bersih sekolah tempat saya mengajar. Seharusnya dia sudah masuk TK, tapi karena belum ingin ditinggal Ibunya lama-lama, dia memilih menemani Ibunya untuk setiap hari datang ke sekolah.

Saya suka sekali kalau ada anak yang di usia lucu-lucunya sangat suka dengan belajar dan bertanya tentang hal apapun. Nadin yang masih berusia lima tahun lebih ini juga suka sekali belajar.

"Ibu Naya, nacarikki Nadin." Tante Tia- begitulah saya menyebutnya- menghampiri saya yang sedang memeriksa "pekerjaan" murid.

"Kenapai Tante?"

"Buku yang mau kita kasikki bede, nacarikki."

"Yang mana?"

"Yang minggu lalu kita ajari di sini." Sambil menunjuk lantai, Tante Tia memperjelas maksudnya.

"O yang itu." Saya lalu berdiri dan membuka lemari yang berisi buku-buku cetak. "Inimi toh yang banyak gambarnya?"

"Iye. Itumi, Bu." Nadin sedang berdiri memeluk tiang pintu ruang guru dan dengan senyum-senyum menyaksikan kami berbicara.

"Sini!" Dia datang dengan malu-malu dan saya memberinya buku itu. "Dibawa pulang dan dipelajari, nah."

"Iye, Bu."

Tapi hari itu, seperti biasa, saat saya tidak pulang cepat seusai mengajar, saya mengajarinya tentang warna, nama hewan yang tampak di buku, dan sesekali menggodanya untuk bisa menyebut huruf "R". Dan senyum anak ini tetiba menjadi manja sekali.

(03/08/16)

PETE-PETE ALIM

Don't judge a book by it cover!
Sepanjang jalinan persahabatan saya dengan pete-pete (baca; angkot), banyak sekali hal yang saya temui. Wajah-wajah baru, sopir yang ugal-ugalan sampai yang ramah, jalanan baru, lorong-lorong baru, anak-anak lorong, perbincangan baru, sampai memerhatikan banyak sekali orang yang saling kenal namun berubah sedemikian rupa seperti orang asing. Untuk yang terakhir, saya pernah menulis tentang itu dan tidak sedang akan membahasanya.

Umumnya, sopir pete-pete hobby sekali memutar lagu-lagu dangdut. Atau lagu-lagu yang sedang naik daun atau lagu-lagu jadul yang ingin naik daun lagi. Kalau diingat-ingat, banyak sekali kenangan yang datang kalau mendengar lagu-lagu lama. Itu kata teman saya. Iya, kata teman saya.

Saya juga punya teman yang katanya menghapal beberapa lagu hasil dari perjalanan kisahnya bersama pete-pete. "Bagaimana tidak dihapal kalau yang diputar itu-itu terus!" Ujarnya.

Saya juga sesekali memerhatikan penumpang asik menggerakkan tangan atau kaki mengikuti irama dari radio. Bahkan ada yang bernyanyi dengan suara pelan. Saya baru bereaksi kalau lagunya diputar keras, "Pak, tolong dikecilkan!" Sebenarnya, kehidupan baru bisa saja tercipta di atas pete-pete. Bisa saja menjadi tempat bertemunya kamu dengan seseorang, misalnya. Ibu guru, teman SMA bahkan teman TK. Atau..

Berbicara soal lagu, di atas pete-pete yang kutumpangi tadi, ada hal yang baru kudapatkan. Sopir yang rambutnya gondrong bergelombang sebahu, celana robek kiri kanan dari lutut hingga mata kaki, pakai topi asal-asalan, memutar kaset murottal Quran dengan menyetir mobil dengan aman, nyaman dan terkendali. Dia begitu menikmati lantunan ayat Quran.

Duhh.. Sebagai penumpang, saya terharu. Baru kali ini saya menemukan pete-pete yang alim sekali.

-26/07/16-

JODOH

Mengutip status fb-nya kak fitri, "Karena hati yang baik akan berlabuh ke hati yang baik. Jadi, ke mana hatimu akan berlabuh?" Saya seketika dibikin terhenyak. Dibuat kembali untuk mengingat bahwa janji Allah untuk menggenapkan seseorang yang sebelumnya ganjil adalah pasti. Kepastian mutlak pula bahwa jika kamu baik, kamu akan beroleh yang juga baik. Pelabuhan yang baik hanya akan dikunjungi oleh orang-orang yang telah belajar menyoal kapal-kapal "seharusnya" yang akan membawa mereka tiba di tujuan.

Sebenarnya, saya tidak sedang ingin menulis tentang hal beginian. Tetapi daripada pikiran saya terganggu dan mencari dimana sebaiknya kata-kata di kepalaku berlabuh, akhirnya saya memulai tulisan ini setelah membaca status di atas.

Duh, tidak penting, ya? *Abaikan saja*

Pernah ada yang bertanya,"Kira-kira siapa jodohku' di'?" Saya menyerngitkan dahi dan menimpuk kepalanya pakai buku (pelan, kok! :D) lantas kami tertawa. "Iya, saya mau tahu. Saya juga mau kalau dia bertanggung jawab, hafalannya 30 juz. Wuiihh!" Ujarnya lagi sambil matanya mengawang-awang dan bibirnya menyungging senyum.

"Perbaiki diri. Jaga diri. Insyaallah dia yang entah siapa juga sedang memperbaiki diri. Kalau sudah benar-benar baik, semoga disegerakan."

Dia tertawa cengengesan. Dipikir saya sedang bercanda.

*TAMAT*
24 Juli 2016

BERKAH KEBAKARAN PANAMPU

Siapa bilang dunia ini luas? Nyaris sebulan yang lalu, setelah pulang (ke) kampung (Mama), di Maros, saya bertemu dengan sepasang pasutri, lengkap dengan 3 anaknya yang masih lucu-lucu di atas mobil yang sama-sama kami tumpangi. Rupanya, keluarga mereka bertetangga dengan Nenek saya. Hanya sepelemparan batu kerikil. Mereka rupanya juga dari Makassar dan akan kembali ke Makassar.

3 hari sebelum Id menjelang, puluhan rumah terbakar di Kelurahan Panampu. Termasuk di daerah bagian pasar. Setelah berkunjung kemarin bersama teman-teman Relawan, kira-kira, sekitar belasan rumah rata dengan tanah. Selebihnya berada di lokasi lain. Lokasi kebakaran yang tidak jauh dari masjid, mengharuskan aksi penyaluran dan Trauma Healing bagi anak-anak digelar di lingkungan mesjid karena tidak ada lapangan yang memadai.

Dua jam berlalu dan saya memerhatikan seseorang yang tidak asing. Tidak salah, dia adalah Ibu yang saya temui di sepanjang perjalanan waktu itu. Saya menghampirinya, menyalami, lalu bertanya apakah dia masih mengenal saya atau tidak. Dia seketika memasang wajah sumringah dan memegang erat tangan saya. Tidak sekali anggukan. Sepanjang kami mengenang dan berbicara panjang lebar, sepanjang itu pula dia menggenggam erat tangan saya. Saya tanya tentang kabar anak-anaknya yang sebulan lalu menderita penyakit yang entah. Dia bilang sudah lumayan sembuh. Lalu saya tanya lagi, apakah keluarganya menjadi salah satu korban kebakaran atau tidak. Dia bilang tidak, dia tinggal di masjid. "Suami Ibu penjaga masjid ini?" Saya dibuat penasaran. Dia bilang iya, suaminya juga sekaligus membersihkan masjid.

Masyaallah. Tidak ada pekerjaan yang paling mulia di mata Allah melainkan pekerjaan yang menjadikan tempat-tempat Ibadah (masjid) sebagai tempat yang nyaman lagi barokah.

Tidak ada yang kebetulan. Semuanya adalah ketentuan. Maka Allah kembali mempertemukan kami di tempat itu. Keadaan anaknya yang semakin membaik, kesyukuran atas berkah yang Allah berikan, ini rizqi bahwa perjumpaan adalah untuk terjalinnya silaturahmi yang baik.

Saya pamit karena kegiatan belum usai. Dan barulah dia melepas tanganku yang sejak tadi digenggam.

24 Juli 2016

THE BOOK THIEF DAN HITLER

Setelah menonton film "The Book Thief" (2013) yang menggambarkan seorang remaja keturunan Yahudi yang ketagihan membaca dan mencuri buku untuk membacakannya kepada seorang Yahudi yang jatuh sakit dan disembunyikan di bawah tanah rumahnya, di film itu, saya justru lebih tertarik dengan kisah Hitler dan tentara Nazi-nya yang mengecam seluruh Yahudi untuk keluar dari negaranya, Jerman. Saya tetiba penasaran dan bertanya tentang: mengapa Hitler sangat membenci Yahudi? Hal ini pernah saya tanyakan kepada seorang teman dan tidak menemui jawaban.

Rupanya, setelah membaca buku "Armageddon, Peperangan Akhir Zaman" (Gema Insani, 2003), pertanyaan saya terjawab. Bahwa pada 31 Agustus 1949, Ben Gurion yang merupakan pemimpin Zionis Israel, dihadapan delegasi Amerika yang sedang berkunjung ke Israel menyatakan, "Walaupun kami merealisasikam mimpi kami untuk menciptakan sebuah negara Yahudi, kami masih berada dalam tahap permulaan. Sekarang hanya ada 900 ribu orang Yahudi di Israel, sementara itu mayoritas orang Yahudi masih berada di luar negeri. Tugas masa depan kami adalah membawa seluruh orang Yahudi ke Israel."

Nah, untuk merealisasikan kembalinya bangsa Yahudi ke Israel, maka para pemimpin Zionis membuat program pemaksaan agar seluruh Yahudi yang berada di luar Israel segera kembali ke Israel. Di antaranya adalah kerja sama atau kesepakatan rahasia antara Zionis dan Nazi Jerman agar dengan kekejaman tentara Nazi tersebut, maka Yahudi di Jerman segera pergi ke Palestina.

Dalam film "The Book Thief" yang mengklaim sebagai kisah nyata yang terjadi pada Februari 1938, orang-orang Yahudi diusir dari Jerman dimana mereka telah banyak bermukim di sana. Siapa saja yang membela Yahudi, siapa saja yang ketahuan menyembunyikan seorang Yahudi di rumahnya, maka akan dihukum berat bahkan dibunuh. Kekejaman yang dilakukan oleh tentara Nazi untuk menciptakan kondisi tidak nyaman dan orang Yahudi memilih kembali ke negaranya.

Selain di Jerman, juga dilakukan teror untuk mengganggu orang Yahudi di Polandia dan Irak yang disebut sebagai teror Haganah, dikomandani oleh Ben Gurion sendiri yang bertujuan sama yaitu agar orang Yahudi kembali ke Israel.

Hal ini tentu beralasan, mengumpulnya Yahudi di Israel, merupakan janji Allah yang terakhir dan akan memicu mereka berkumpul di Yerussalem sebagai tempat mereka akan diazab dengan azab yang pedih. Mereka yang berasal dari berbagai negara telah menyebabkan berbagai perubahan kultur, bahasa, dll, sehingga keadaan mereka saat dikumpulkan seperti logam yang bercampur baur/berlainan jenis.

"Dan kami berfirman setelah itu kepada bani Israel, 'Berdiamlah kalian di bumi ini dan apabila datang Wa'dul Akhiroh (janji akhir), niscaya kami akan mendatangkan kalian dalam keadaan bercampur baur.'" (Q.S Al-Israa: 104)

10 Juni 2016

PULANG (ke) KAMPUNG (Mama)

Cerita rakyat pada masa-masa SD hingga SMA saya dulu, menjamur di salah satu stasiun televisi swasta. Sangkuriang, Sawerigading, Malin Kundang, Bawang Merah dan Bawang Putih hingga Timun Emas menjadi tontonan pilihan. Walau fiktif, tetapi banyak-banyak mengundang perhatian anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun. Mama saya misalnya. Beliau rajin sekali menemani kami menonton cerita-cerita rakyat itu. Sebab, selain perjalanan kisahnya yang tak biasa bin unik, banyak sekali pelajaran yang bisa diambil.

Kisah-kisah itu, sedikit banyak masih tersimpan di kepala. Terekam dengan baik bagaimana kisah itu berjalan. Masa anak-anak dan masa muda memang adalah momen yang baik merekam kenangan.

Saya yang menetap di Makassar sejak lahir mengganggap perjalanan pulang (ke) kampung (Mama) ini adalah perjalanan penantian berjumpa dengan keluarga besar. Bahagia sekali rasanya. Setelah berlelah-lelah, berpanas-panas, bersempit-sempit ria di atas pete-pete (baca; angkot) bersama penumpang lainnya, perjalanan yang nyaris memakan waktu empat jam karena arus pulang balik yang ramai merayap itu membuat tubuh lelah, lunglai, letih, lemah, dan lemas. Maka, obat terbaik adalah mengunjungi kebun. Memandang hijau yang menghampar luas. Juga gunung yang menjulang tinggi hampir seperti sedang bercumbu dengan langit. Dan kemarin, setelah berada di kebun, salah satu cerita rakyat itu tumbuh kembali di kepala.

Apa yang kemudian saya dapatkan? Selama ini, saya pikir kisah Timun Emas memang adalah sebuah fiktif. Begitupun dengan Timun Emas yang menjadi "pemeran utama" pada kisah tersebut. Mana ada timun emas? Yang ada hanya timun  yang kulitnya berwarna putih dan hijau.  Lantas saat di kebun, nenekku bilang akan memanen timun emas. Saya tertawa karena berpikir dia sedang bercanda. Tetapi sepupuku menimpali, "Iya. Ada. Di sana!" Ujarnya sambil menunjuk barisan pohon timun yang ditanam di antara tamanan-tanaman padi yang menguning.

Saya takjub. Lalu nenek memetiknya dan menunjukkan timun emas itu. Saya tidak tahu mengapa ada perasaan bahagia saat mengetahuinya. Duh.. kayak lebay, ya. Tapi pengalaman itu saya anggap sebagai salah satu pengalaman terbaik yang saya miliki.

-Maros, 7 Juli 2016-