Senin, 13 Maret 2017

KELAKUAN, KETAKUTAN, DAN ANAK-ANAK

Tadi pagi, di kelas menjadi saaangatt riuh sekali. Beberapa memasang wajah ketakutan dan berteriak histeris. Bisa kubayangkan, di kepala mereka banyak sekali kemungkinan-kemungkinan buruk. Dada mereka dag dig dug berirama. Seperti melihat hantu atau seperti sedang bermain petak umpet, tubuh dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan, sempurna tenggelam di bawah meja. Mereka menutup mata. Tidak peduli kalau lantai yang sedang menempel di wajah mereka adalah bekas sepatu yang entah telah berjumpa dengan apa.

Lima orang perawat masuk dengan membawa sebuah tas obat-obatan. Satu dokter berpakaian merah marun dengan sarung tangan melekat di jemarinya. Sebenarnya saya tidak ingin membuat mereka kaget, takut, apalagi sampai histeris seperti perempuan-perempuan alay yang berjumpa dengan artis idolanya di Mall-mall atau di konser musik. Oleh sebab itu, sebelum perawat itu masuk ke kelas, saya bertanya kepada anak-anak, siapa yang pernah ke rumah sakit. Beberapa dari mereka mengunjuk jari, "Saya Bu! Di Rumah Sakit disuntik." "Oh, ya? Rasanya bagaimana?" Saya menimpali. Mencoba mengorek informasi. "Tidak, Bu. Rasanya hanya seperti digigit semut." Saya lalu mengelus kepalanya. "Pintar."

Yang lain tidak mau kalah, "Ibu, saya pantatku pernah disuntik karena luka jatuh dari sepeda." Ucapnya semangat. "Tidak sakit, kan?" "Iya, Bu. Tidak."

Lalu saya bilang, "Ibu mau tanya, kalau disuntik berarti apa? Kita akan sehat atau sakit?" Mereka kompak menjawab "Supaya sehat, Bu." Saya tersenyum dan kembali berkata-kata, "Nih, lihat Ibu," sambil mengangkat dan mengepal kedua tangan seperti seorang atlet tinju yang berhasil meraih poin terbanyak, "karena waktu seumur kalian Ibu juga pernah disuntik, makanya sekarang sudah sehat." Dan saya tidak menyangka kalau mereka akan bertepuk tangan, "Yeee". Haha

Tapi tips dan trik dari kepala saya itu lumayan berhasil, saat Perawat dan Dokter itu masuk dan menarik sebuah meja dan kursi, hanya ada dua anak yang histeris dan bersembunyi, satu anak duduk menempel di pojok paling belakang dan menutup wajahnya dengan kedua lengannya. Yang lain malah langsung antri, "Saya duluan! Saya duluan". Melihat mereka berebutan, saya merasa lucu sendiri dan tertawa kecil. "Antri, Nak. Antri." Para perawat juga membantu merapikan posisi mereka.

Tidak lama kemudian, semua yang antri telah usai menunaikan haknya. Sisa empat anak lagi. Segala daya dan upaya telah dikerahkan. Tetapi mereka tetap bertahan, dua anak perempuan masih berteriak-teriak, "Tidak mau!!! Nanti sakit!!! Saya mau pulang!!!" Melihat kelakuan mereka, saya mengenang masa eSDe dulu, teman saya yang bersembunyi di bawah meja malah disuntik di sana saking tidak ada pembelaan apapun yang ia dengar.

Satu menit. Dua menit. Akhirnya tiga anak luluh. Bersisa satu. Ia terus berontak. "Bawa kemari saja, Bu." Dokter yang pipinya tembem tapi manis itupun memerintahkan. Saya dan dua orang Perawat memapahnya ke depan kelas. "Sini,  Aliya, Ibu temani. Aliya peluk Ibu juga tidak apa-apa."

Akhirnya perjungan berakhir. Sambil menangis, saya menarik lengan bajunya ke atas dan dokter menyuntiknya. "Sakit? Tidak, kan?" Aliya diam. Tidak lagi mengeluarkan air mata. Sementara beberapa temannya mengejek, "Huuu.. Cemennn!!" Cemen, kalau sayya tidak salah itu artinya "payah".
"Husst! Jangan diejek, tadi Aliya hanya belum tahu rasanya, sekarang sudah tidak menangis lagi. Berarti Aliya sudah hebat sekarang." Saya tentu membela Aliya. Sayang sekali air matanya jatuh hanya karena ejekan.Mereka akhirnya berhenti.

Bu Dokter pamit, anak-anak lalu bilang terimakasih bersama-sama.

"Ibu kenapa tidak disuntik juga?" Agil yang memang selalu paling banyak pertanyaannya mendekat ke hadapan saya. "Ibu, kan sudah pernah kecil seperti kalian. Pernah SD. Jadi sekarang tidak disuntik lagi." Agil tertawa pelan, "Ooohh.."

Lalu saya menghibur mereka dengan bernyanyi lagu "Di sana Senang, di Sini Senang" dan "Gelang sipaku Gelang" dengan tepuk dan lambaian tangan.

-Makassar, 24/11/2016-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar