Rabu, 08 Maret 2017

OLEH-OLEH ROTTERDAM

"Berapa bulan mako sama Andi?"

Saya tidak begitu jelas mendengar jawabannya karena suara anak SD itu agak kecil. Sementara temannya yang bertanya mengangguk (sok) paham.

Ada sekitar empat sampai lima kumpulan anak SD hingga SMP usia belasan yang merumput (baca: duduk di atas rumput) di Benteng Rotterdam pagi tadi. Di samping kanan saya, ada empat anak perempuan, di hadapan saya ada tiga. Sementara di samping kiri ada sekitar belasan anak laki-laki dan perempuan. Dan di sisi lain, ada beberapa anak laki-laki yang asik ngobrol dengan temannya. Ada juga yang duduk di tangga sebelah kanan gereja.

Saya jadi penasaran dengan mereka. Tidak ada pendampingan dari orang dewasa sebagaimana seharusnya. Mereka mengenakan pakaian juga ala-ala mau-mau gue saja. Tidak seperti rombongan anak SD yang didampingi guru-gurunya untuk berwisata belajar. Maka kepada empat anak perempuan di sebelah kanan, saya bertanya tentang alamat rumah mereka, asal sekolah, dan tentu alasan tentang kehadiran mereka di tempat wisata peninggalan Belanda itu. "Jalan-jalanji, Kak. Cari suasana baru." Jawab mereka kompak. Dua di antaranya lalu berselfie-selfie ria, "Sembilan foto, nah."

Lalu, apa yang akan datang di benak saat mendengar pertanyaan, "Berapa bulan mako sama Andi?" dari anak ingusan?

Deg!

Baiklah. Pertanyaan itu memang seringkali muncul saat seseorang penasaran dengan sebuah hubungan yang entah pacaran atau telah menikah. Dan adalah "sesuatu sekali" saat anak SD menanyakan hal itu kepada teman sebayanya. Itu artinya..

Saya tidak begitu paham dengan kisah kasih di sekolah. Tapi seperti kata Almarhum Abang Krisye, "Sungguh aneh tapi nyata." Yah, kita harus menerima kenyataan kalau saat ini kehidupan anak usia belasan sudah terenggut dengan lembutttt sekali. Seperti helai-helai kapas yang jatuh dari buahnya di atas pohon. Ke arah mana angin membawanya, itu tidak menjadi urusan semua orang. Tetapi, saat melihat anak-anak kita terbawa angin, itu menjadi urusan (nyaris) semua orang. Orangtua, guru, masyarakat atau dalam Islam, dikenal bahwa saling nasehat menasehati adalah tugas semua muslim.

Adalah urusan orangtua sebagai madrasah pertama dan utama dalam men-tarbiyah-kan anaknya. Orangtua yang baik tentu mencetak generasinya sebagaimana baik dirinya. Tetapi, seperti anggapan yang sering saya temui di orangtua bahwa pergaulan vs lingkungan buruklah yang menjadikan anak mereka seperti bukan anak-anak lagi. Tidak salah memang. Sebab lingkungan dan pergaulan sangat berperan penting dalam membentuk sebuah karakter. Tetapi jika orangtua tidak menanamkan nilai-nilai kehidupan yang sebaiknya bekerja di kehidupan mereka sejak dalam buian, tentu anak yang paham, walau mendapat beragam godaan, tidak akan ikut-ikutan untuk eksis dengan cara tidak benar. Eksis yang benar seperti berprestasi dalam cabang seni atau olahraga. Anak-anak SD yang mewakili sekolahnya di ajang Jambore Nasional misalnya.

Guru yang notabenenya diberi gelar sebagai pendidik juga sebaiknya tidak sekadar mengajar lalu laku peserta didik dianggap tidak begitu penting daripada intelektualnya. Pendidik, sudah pasti tugasnya mendidik. Lalu masyaraat juga tidak boleh tinggal diam. Dengan membiarkan anak-anak menjadi sedemikian menakutkan bagi masa depannya, diamnya kita hanya akan membuat kebaikan bagi mereka juga ikut diam.

Maka terakhir, akan saya tutup keresahan ini dengan mengoyak kalimat seseorang yang kurang lebih maknanya begini, “Anak adalah ladang, tanami tanaman yang baik atau ladang itu akan kosong, mengering, lalu tandus.”

.. Sepulang dari Rotterdam, 21/08/16 ..
-Inay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar