Rabu, 08 Maret 2017

PELAJARAN DARI APEL

Andai kita menjadi seorang yang hina, mungkin ungkapan yang pertama keluar dari lisan kita adalah bertanya bagaimana caranya agar bisa menjadi baik sementara dosa begitu bergelimang. Adalah sesuatu yang memancar kebaikan jikalau hal itu dipertanyakan sebab Allah sedang menunjuki kita ke arah cahaya. Sebaliknya, jika kehinaan begitu terpelihara tanpa duga-duga ingin memperbaiki, maka gemiricik demi gemericik dosa akan demikian menjadi seperti kubangan lumpur yang membahaya.

Telah tiada arti sebuah apel jika cara memperolehnya harus dengan kehinaan. Tiada berkah berlembar-lembar rupiah jika jalan untuk meraihnya adalah hina dina. Walau dengan sisa-sisa tenaga, walau dengan ujung-ujung kuku sisa pernapasan.

Allah tidak melihat bagaimana manusia bisa dengan mudah menggenggam sesuatu, tetapi Allah menghargai proses kebaikan yang walau beroleh satu atau setengah gigitan apel, darah berada di titik penghabisan. Maka, ada banyak pula perjuangan keras hingga berlumur keringat dan harap yang akhirnya bertekuk lutut hingga mendatangkan banyak kebaikan.

Kamu tahu kisah Sitti Hajar, Ibunda Nabiullah Ismail as? Beliaulah sebaik-baiknya teladan dalam mencari rejeki yang sebelumnya tersembunyi. Beliaulah sebaik-baik nasehat untuk meraih gelimang kehidupan setelah berlelah mengais kaki yang berlomba mencari rizqi. Beliaulah sebaik-baik amanat yang tidak berputus asa atas Allah yang ia tahu tidak pernah akan menyiakan makhlukNya.

Di tengah padang yang gersang, beliau melintas mengelilingi bukit Shofa dan Marwah sebanyak tujuh kali putaran dengan terus mengais tanah sambil terus berharap ada setetes air yang memberitahukan kalau keselamatan sedang bersamanya. Dan tersebab kalamullah, Allah yang Maha Pengasih lagi Mulia memancarkan mata air di dekat Ismail. Betapa berdegup bahagia Hajar saat melihat rizqki itu datang tanpa disangka-sangka. Air zam-zam namanya, air tersuci di muka bumi ini.

Lalu tadi, saat senja datang pelan-pelan, saya meminta tolong kepada salah seorang kawan untuk mengantar saya ke tempat pete-pete di Pettarani selepas berkegiatan dengannya. Selama ini, sepanjang perjalanan saya dibonceng, sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana getar-getar saat polisi menilang. Biasanya, saya hanya mendengar atau membaca tentang berita-berita tidak mengenakkan tentang polisi lalu lintas. Tetapi, saat asik bertukar kata dengan kawan saya, tiba-tiba di hadapan kami polisi berdiri menyergap dan dengan segera meminta SIM dan STNK. "Kemarikan motormu!" Ucapnya agak kasar. "Tahu kesalahanmu apa?" Pak Polisi yang perutnya besar itu bertanya sambil memeriksa surat-surat di tangannya. "Teman saya tidak pakai helm, Pak." Kawan saya itu menunjuk saya dengan tersenyum sementara wajah saya mulai terlipat-lipat. Tangan saya juga dingin mengeluarkan keringat. Saya gemetar lalu bertanya pada diri sendiri, "Seperti inikah rasanya ditilang?"

Belum sampai di situ, saya memang salah. Oke saya akan begitu sangat mengakuinya. Tetapi yang semakin membuat saya tidak percaya adalah Pak Polisi bersama tiga rekannya itu menulis surat tilang tanpa menyerahkannya sementara dia mengancam untuk membawa kasus itu ke persidangan. Singkat cerita, dia meminta uang seratus ribu, tetapi dengan berbagai nego dan taktik sana-sini, akhirnya tigapuluh ribu diterima dengan terpaksa berlapang dada.

Saya tahu itu salah. Pak Polisi itu sebaiknya memperlihatkan surat tugas tilang terlebih dahulu atau tidak dengan mudah menutupi kesalahan kami dengan rupiah. Tetapi kecemasan yang semakin memuncak membuat kami harus menuruti maunya. Penyogokan, maaf, itu sangat terpaksa dilakukan.

Sebagian polisi lalu lintas kabarnya banyak melakukan hal demikian. Meminta uang lantas urusan selesai begitu saja. Mengancam hingga menakuti lalu kemudian berhasil dan sejumlah rupiah digenggam dengan erat. Lucunya lagi, saat mengambil uang tadi, tetiba tubuhnya dibalut jaket cokelat tebal hingga tidak dikenal lagi bahwa identitasnya adalah seorang polisi.

Eia, tadi saat ditanya berulang kali, Pak Polisi yang pipinya tembem itu akhirnya menyebut namanya. Tapi saya tahu dia sedang berbohong.

Maka bekerja dengan tanpa menghawatirkan apa yang diharapi, sungguh Allah akan jaminkan keberkahan rasa atas sedikit banyaknya apapun yang Dia beri. "Sesungguhnya Allah cinta kepada hamba yang berkarya dan 'itqan (tekun-terampil). Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang yang berjuang di jalan Allah." (H.R Ahmad).

13/08/16
-Inay-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar